Sabtu, 22 November 2014

Recently...........


Gue selalu suka Adam Levine. Untuk memperjelas, gue selalu suka lagu-lagu mellow yang Adam buat dan nyanyiin. Udah nonton Begin Again? Gue baru nonton trailernya sih (harus nonton kalo nanti udah keluar di XXI).. tapi asli, I shed a tears so much after heard the song. Adam emang gak pernah gagal deh bikin gue termehe-mehe setiap abis dengerin dia nyanyi yang sedih. Poin yang gue suka adalah, lagu mellow dia engga make kalimat yang terlalu romantis dan lebay. He strike our heart by its methapor and unique lyrics. Sad, Just A Feeling, dan sekarang Lost Stars.

Tiap gue denger lagu ini, gue ngerasa blank. Kayak ada black hole gede di hidup gue. Am I the lost star? I think so.
Kadang gue masih suka hilang arah tujuan gitu. Bingung sendiri sama semua keputusan yang udah membentuk gue seoerti sekarang.

Gue Cuma berharap gue nggak hilang dan bisa terus berjalan menjadi pribadi yang lebih baik!
Recent favorite songs on my playlist (especially after watching The Judge 2 weeks ago)
Willie Nelson      - The Scientist
Bon Iver               - Holocene
Adam Levine      - Lost Star
Redtop                 - Come and Get Your Love
Bon Iver               - Skinny Love

This sh*tty life


Sejak malem, news feed BBM nggak jauh-jauh soal kenaikan BBM. Ada yang setuju, ada yang biasa aja (karena mereka make Sh*ll), ada yang marah-marah dan blame pemerintahan Jokowi, yang tersesat malah ngomongin soal UCL. So, i turned off BBM notifications and got to sleep late.

Besok pagi? Makin parah. Ada yang nggak tau harga premium naik. Ada yang (masih) sibuk berkoar dan menyalahkan pihak atas. Lama-lama gue gerah juga sama yang blabbering shits ini. So, here’s some of their opinions about gasoline price recently.

BBM naik kesel setengah mati. Harga rokok naik masih tetep selow
Besok ke sekolah gue jalan kaki aja dah
Besok beli minyak jelantah buat ganti premium
Ini nih janji Pak Presiden soal menyejahterahkan rakyat?! Ini namanya menginjak-injak rakyat sendiri

I laughed so hard like Godzilla when read the last comment. It came from my ex-teacher and he’s in university right now. Ini nih mahasiswa calon penerus bangsa? All I can assume is, his comment was very subjective, not objective.

Begini ya, terlepas dari gue pernah menjadi pendukung Jokowi saat Pemilu 2014 kemarin, masalah kenaikan premium ini nggak bisa di blame sepenuhnya ke pemerintahan Jokowi. To put it bluntly, dari dulu harga bbm kan naik, cepat atau lambat pasti harga BBM selalu punya ancang-ancang untuk naik. Jadi, sorry, buat kalian yang marah berlebihan kepada pemerintah sekarang (apalagi kalau kalian oposisi), kalian tolol. :)) Kemana aja suara kalian pas BBM naik menjadi Rp. 6500/liter beberapa tahun lalu? Logikanya adalah, bahan bakar adalah sumber daya terbatas dan selalu menipis stoknya, kalaupun naik ya pasti wajar lah.

Kedua, dengan naiknya harga BBM, otomatis anggaran dana negara bisa dihemat secara efisien dan dialokasikan untuk pembangunan di berbagai sektor. Konsumsi BBM berada di poin prioritas kedua setelah makanan. Pemerintah ya ngga bakal bisa selamanya menetapkan anggaran yang begitu besar hanya untuk subsidi BBM sementara banyak program pembangunan yang harus dijalankan. Ini tuh ibarat kalian pengen tetap makan enak, kesehatan terjamin, duit keluar sedikit tapi sekalian meras orang tua yang tercekik anggaran tetap setiap bulannya. Pengorbanan Rp. 2000 di kita sebenarnya belum seberapa dengan kenaikan yang dialami warga Indonesia timur. Orang timur harga BBMnya bisa bikin mata melotot hati kebakaran jenggot. Tapi bisa kita lihat, they still struggle to extend their living with the fantastic gasoline price. Bagi mereka itu biasa, kita bisa bilang gitu. Tapi harusnya kita bisa berpikir, bukankah egosentris banget kalau kita disini merongrong soal kenaikan BBM sementara tujuan kenaikan tersebut juga untuk membantu mereka disana? Think again!

Ketiga, udah pernah ada yang nonton Brain Games season 2 pas episode “You Decide” ? Disitu dijelaskan soal manusia yang setiap hari dihadapkan oleh pilihan sesimpel apapun. Ketika lo dikasih pilihan mau beli popcorn ukuran besar dengan harga $7 atau yang kecil seharga $3, most of people choose the small one. Kenapa? Karena gap harga yang besar antara dua ukuran tersebut membuat otak kita memutuskan untuk memilih yang kecil, dengan asumsi itu sama-sama popcorn dan cuma  makanan selingan. Not so fancy. Tapi, ketika diberikan distraksi berupa ukuran medium seharga $6,50 orang-orang malah pick the large one. Kenapa pula? Karena saat itu cortex otak manusia (cmiiw) memilah dan membandingkan. Intinya, semakin tipis gap harga satu ukuran dengan lainnya, kita akan memilih yang lebih besar/lebih baik dengan asumsi akan merugi bila milih yang lebih kecil/biasa aja. We were being manipulated by our own brains, congratulations!

So that’s why, in my assumption, pemerintah secara tidak langsung mempersuasi kita agar beralih ke pertamax dan (secara tidak langsung) pula menjaga kualitas mesin dengan memakai bahan bakar dengan kulitas yang lebih baik :).

Gue bukan fanatis Jokowi, bukan groupies kotak-kotak. Bagaimanapun, ketika presiden pilihan gue berhasil memimpin negara, tugas kita sebagai warga negara tetap harus mengawasi. Oposisi bukan soal prinsip, oposisi adalah soal hak dan tanggung jawab warga negara.
Pipis, love, and gaol

Nyoron

Interstellar - A Breathtaking Movie of The Year


“Mankind was meant to be born here, but not to die here”

Quote diambil dari tokoh dandy ganteng ala-ala yang lagi ngeracunin otak gue #slapped
Science, physic, 3rd laws of Newton, black hole, 5th dimensional world, String’s theory, father-daughter bonding. Are you craving for a great sci-fi movie? You should watch this one. Well-concept and easy to understand movie.

It’s been a long time since the last time I review a movie. So, it means If I mind to type the review, the film would be so awesome. And so it does. Interstellar was amazing and breath-taking. Ada yang nonton Interstellar cuma karena ratingnya di iMDB yang tempting abis, ada juga yang nonton karena happening dan most uploaded di path. Ada. Awalnya, I’m one of those. Namun, karena gue orangnya terlalu malas buat nonton film berdurasi lama tanpa tau jalan ceritanya (apalagi kalo Cuma buat pamer di Path), so I googled it. Hampir keselek pas buka-buka review malah lebih kayak spoiler, and most of blogger gave a lot of applause toward the movie. So, let’s give a hit!

Interstellar menceritakan bumi di penghujung abad ke-20 dimana seperti yang telah diprediksi akan mengalami badai debu dan polusi tanah berkepanjangan. Kelaparan, sesak nafas, penyakit menular. Pada masa tersebut, perang tidak lagi terjadi, fisikawan dan orang pintar sudah tidak diperlukan. Intinya, manusia ada untuk menjaga sisa hidup bumi, bukan untuk menjelajahinya lagi. Pemborosan investasi di abad ke-20 menyebabkan kesengsaraan bagi manusia.

Cerita dibuka dengan Cooper, mantan perwira AU yang memiliki anak bernama Murph. Murph merasa seperti dikelilingi oleh hantu. Kejadian seperti buku jatuh berpola morse, pasir yang membentuk kode biner dsb. Kode biner dari pasir tersebut awalnya dianggap adalah anomali gravitasi yang justru memberikan koordinat suatu tempat.

Singkat cerita, koordinat tersebut adalah underground office milik NASA. Mereka mengutus Cooper untuk ekspedisi mencari planet baru pengganti bumi bersama tiga astronot lainnya. Dr. Brand mengutus Amelia, anaknya, untuk ikut dalam ekspedisi menjalankan rencana A.

Christoper Nolan konsisten memberikan ending yang twisted. Not 100% happy ending, but relative satisfiy. Kenapa gue bilang endingnya relatif memuaskan? Karena menurut gue, dengan ending yang dia berikan, udah gak penting lagi gantung atau engga. Kita bakal tetap puas dengan penutup cerita. Ciri khas Nolan dalam membuat film lah intinya. Nolan sukses membuat gebrakan besar dengan membuat pengandaian dimensi ke 5 dan mengangkat hipotesa wormhole. Well, gue saking kebawa cerita, menganggap kalau wormhole beneran ada.

Gue nangis kejer setiap ada scene antar Murph dan Cooper. I posses a father’s complex :’). Film berdurasi hampir tiga jam ini emang nggak sehat buat kandung kemih, tapi believe me, you won’t miss a scene. Keluar dari bioskop dapet oleh-oleh mata sembap, tangan yang gatel buat Googling, dan mulut yang udah siap buat nyerocos soal astro-sciene. Kita teredukasi? Ya. Kita jadi sok tahu? Maybe. Mau nonton lagi? Sure.

Overall, dengan rating di iMdb yang mendekati sempurna, film ini sesuai ekspetasi gue. Tapi, ya kalo ekspetasi lo film yang lebih mengusung drama dan sciene ala kadarnya, film ini bikin lo kebelet pipis doang. Paling dapet basian upload di Path. Tapi, honestly, film ini nggak bikin ngantuk karena fase antar scene cepat, saling berkolerasi scene satu dengan lainnya, dan tetap well-understand buat yang nggak gitu sciene enthusiast. Mata gue bener-bener dimanja sama visualisasi outer-spacenya. Sound effect nggak begitu mengecewakan tapi yang paling keren menurut gue ketika kita pas lagi fokus ke film dan ada satu scene dimana ruangan biskop seperti kedap suara. Efek soundsless pas Cooper keluar dari spaceships itu greget dan bikin kuping terusik banget!

Film ini tetap enak dinikmati meski nggak nonton di IMAX. Santai aja. You’ll still get a breath-taking visual experience when watching it on regular XXI theater ;).
Applause for Nolan and the research team. (Is it me and others /ton/ fellas whom only  gave an applause after the movie? Lol)


Nyoron!

Selasa, 11 November 2014

Ih gue bosen

Ih gue gak tau akhir-akhir ini males banget ngepost.
Gue sibuk, tau sibuk gak?
Tiap hari selonjoran sambil ngemilin soal matematika.
Kalo lagi ngaso, ngotak-ngatik soal fisika
Lagi bengong aja mikirin soal universitas.

Kayak otak gue engga istirahat cantik gitu deh.
Terus kalo ada senggang dikit pasti gue was-was. Takut gak belajar, takut ilmunya terbang, takut Cinta Fitri nambah episode lagi, takut CHSI ada helokiti baru, takut besok kiamat. Pokoknya takut deh.

Kelas 3....... bawaannya pengen cepet-cepet UN.
Pengennya cepetan perpisahan sama wisuda.
UN aja belom looo!!

Capek ah. Mau tidur siang dulu

Bhaaaay

Jumat, 10 Oktober 2014

Berceracau

Pengen bilang apa ya?
Oh iya, gue lagi kepincut banget sama lagu-lagu Float.
Dulu, sebenernya gue udah tau band Float tapi belom seasik sekarang di kuping gue. Mungkin efek umur kali ya. Semakin dewasa, kuping gue adaptasi dan makin nyaman sama beberapa genre tertentu aja. Dulu gue tahu Float dari film 3 Hari untuk Selamanya.

Sekarang, isi playlist lagi kegandrung sama band yang kemaren baru aja bikin Float2Nature sebagai perayaan annivesary mereka di Lampung.

Kedua, akhir-akhir ini gue selalu nemu buku bagus hasil ngoprek di Gramedia. Salah satunya, kumcer karya Djenar Maesa Ayu. Penulis yang sukses lewat Mereka Bilang Saya Monyet! ini berhasil menarik mata gue untuk membalik lembar demi lembarnya. Which ternyata, Djenar ini Floaters juga! hahaha..

Banyak yang bilang karya Djenar itu dangkal (as what I read on goodreads review), tapi menurut gue, cara bertuturnya yang blak-blakan, verbally dan mengangkat konsep tentang Perempuan, Seks, Human Trafficking, lumayan bikin gue betah bacanya. Atau ini cuma masalah selera baca? Hahah. Tapi sayang, plot cerita Djenar cukup mudah ditebak. Seperti kita udah dikasi panduan dalam game buat setiap quest nya. But  I salute her witty style and simple-attractive words even in monoton plot.

Well, selamat malam dan jangan lupa sikat gigi,




Nyoron

Hujan Bulan Desember

Gue engga tau udah berapa kali di blog ini bilang bahwa;
"Hey! It just two months left before year end"

Waktu tuh bener-bener misterius dan interkonsepsi.
Gue masih terkaget-kaget kalau sekarang udah bulan ke sepuluh dari duabelas bulan yang harus ditempuh dalam setahun. Perasaan, baru aja kemaren gue nulis hal yang sama dalam kondisi hati galau menye-menye terus ngga lama ngepost soal tahun baruan di rumah Ami dilanjut dengan bakar-bakar ayam sambil nunggu kembang api.

Resolusi tahun ini, unexpected! Ngga nyangka aja 70% yang penting udah terpenuhi semua. Alhamdulillah. Ternyata memang cara terbaik untuk bikin resolusi itu niat -> ditulis -> ditanamkan ke diri sendiri setiap hari.

I think, what I learn from this year is; It's no matter how long you lives, It's no matter how many times you've been here and there, but about how much we mean to live fully.

And, (cepat) selamat datang bulan desember. Bulan favorit gue. Musim hujan favorit gue. Bau tanah basah habis hujan, jalan becek, air netes dari pohon!


Good night,


Nyoron

Pulang

Aku rindu rumah
Perasaan yang menggangu setiap saat ku tatap jalanan di Harleemstraat yang ramai.
Perasaan yang menggeltik kala aku menyusuri Kernstraat 17a, Leiden.
Sesak yang menghimpit bila berpapasan dengan kakek-nenek seusia kalian di sekitar Universiteeit Bibliotheek.

Sejauh apapun, hangatnya bumi akan selalu berbeda.
Pabila, kita berbeda benua,
Tak satu tabula rasa.

Kelingking telah dilingkarkan sebelum kaki menjejak bandar udara.
Bahwa tahun esok kita kembali tatap muka.
Lalu tidak akan saling berkata,
"Sampai jumpa!"


Float - Pulang dan secangkir teh manis
Jakarta, 10 Oktober 2014

Kamis, 02 Oktober 2014

Resah


Aku merasa keresahanku hilang.

Aku menyesap mocha hangat yang terhidang di sisi kanan laptop. Uap hangat menguar dan menyisakan titik-titik embun di pinggir cangkir. Pagi mulai bergerak pergi dan berganti terik.  Layar laptop masih membentangkan layer kosong dengan pointer panda yang terus berkedip, menunggu di otak-atik. Sesekali mataku menatap layar handphone, menunggu satu pesan masuk namun bukan dari bos. Tidak kunjung datang. Aku menghela nafas, meluapkan kedataran yang sedari tadi mengawang-awang.

Aku merasa keresahanku hilang.

Dulu, entah kapan dunia awang itu nyata, aku terbiasa liar. Imajinasi dan emosiku berdebur bagai ombak di lautan lepas menunggu pecah bersurai di pantai. Diriku yang dahulu dengan mudah membangun awan-awan imajinasi yang tidak terbatas dan terombang-ambing mengikuti arusnya. Itu dulu, sebelum terlalu jauh relaita dan tatanan hidup serta moral tahik menyeretku terlalu dalam. Bara api di dadaku kini tinggal menunggu menjadi abu dan meresap di tungku.

“Kamu kan bisa kerja kantoran aja, nak. Kerja asal ada ijazah.”
“Tapi aku mau jadi seniman matang. Lingkungan yang mendukung.”

Dua hari lalu.

“Kamu kalau besar mau jadi apa aja bisa. Dokter, astronot, ilmuwan.”
“Tapi aku nggak suka eksakta.”
“Tapi Hayomi bisa kaya dan punya banyak uang.”

Tujuh belas tahun lalu. Umur tujuh.

Aku merasa keresahanku hilang.

Seniman tidak seharusnya terbawa realita. Kita terbiasa terjaga di alam nirwana. Alam dimana suwung merajalela dan membuat kita lupa. Hal yang tersulit terjadi sekarang adalah, terlalu banyak karbitan. Terlalu banyak hasil “seni” omong kosong yang berasal dari dunia nyata. Seni basi, seperti kata guruku.

Aku sendiri terlalu dini mengklaim diri sebagai seniman sejati. Apalah aku. Aku hanya suka menggambar, titik. Aku suka membuat apa yang tidak terucap tergores melalui pensil, cat, tinta di atas kertas.
Hhhh....

Aku menghela nafas. Mencoba menghimpun keresahan yang harus aku punya. Keresahan akan membawaku gila, lupa dunia, lalu masuk alam maya. Keresahan akan membuat tanganku bergerak maju dan menggores tanpa ampun, bagai seorang samurai yang sedang menghabisi lawannya.

Karena aku butuh keresahan itu. Kekritisan akan hal-hal polos yang sesungguhnya menunggu dimaki, di anjing-anjingkan, dipiaskan. Kekritisan yang aku metaforakan bagai melihat perempuan telanjang tetapi menyimpan sejuta sifat jalang.

Karena sekarang, saat logika menghempaskan dunia fana, sungguh aku merasa kesepian. Aku butuh keresahan itu yang akan membuatku terlihat kesepian tapi teramat gaduh di dalam. Duniaku terlalu ramai untuk kau sesaki dan mengerti.

Mampus kau! Dikoyak-koyak sepi

Sekolah, mocha hangat, dan Chairil Anwar
Jakarta, 30 September 2014

Nagya dan Panji


Aku menghisap rokok menthol di selipan jariku sambil mengamati deretan rak buku berisi tetek bengek sastra dan filsafat. Mataku menyipit mencoba mencerna nama pengarangnya satu persatu. Nietzche, Sartre, Coelho, Murakami, Mishima, serta beberapa nama Indonesia, Seno Gumira, Ayu Utami, Djaenar Maesa Ayu, Hamka, Amoedya Noer, berderet rapi di sela-sela papan kayu mahoni yang dipelitur dan berbentuk persegi panjang. Satu kotaknya mampu menampung hingga sepuluh buku yang tebalnya dipercaya untuk menimpuk maling.

“Hey! Lihat apa?”

Seseorang mengetuk puncak kepalaku. Aku meringis sebal sambil bersiap menarik hisapan berikutnya.

“Apa sih yang kamu lihat dari sekumpulan buku berlabel sastra ini?”

Mataku memicing mencoba mencerna maksud perkataan Panji. Si pria berjanggut halus ini masih menatapku teduh, tidak selaras denganku yang terlihat seperti musuhnya.

Aku menggeleng.

“Engga ada. Namanya aja udah bikin bosen.”

Panji menarik sebatang rokok dari sakunya. Memantik api yang menyala setelah zippo dibuka lalu meresapi hisapan pertama. Aku mengalihkan diri dari matanya.

“Aku melihat kamu seperti sastra, Nagya. Enam tahun lalu, saat kita masih ingat cara bersenang-senang tanpa peduli setan. Kamu dua satu, aku dua lima,” aku menyimak tenang. Mencoba membiarkan dia kembali menceritakan awal kisah kami.

“Aku tidak mau disamakan seperti kertas-kertas itu. Kertas berisi fiksi maupun hipotesa yang bahasanya njelimet dan bikin mumet.”

Kami tidak sengaja menghembuskan asap bersamaan. Semilir angin dari pintu geser kaca yang terbuka lebar di samping kami masuk tanpa permisi lalu menerbangkan asap-asap membumbung pergi.

“Seperti itulah kamu. Tidak dulu, tidak sekarang. Mungkin bagimu, sastra membosankan, tidak mempesona, sebuah tradisi estafet dari masa ke masa yang membuat manusia fakir imajinasi bosan mem—“

“Tunggu!” Panji agak kaget.

“Kamu bilang aku fakir imajinasi?!”

Panji menghembuskan nafas gemas, “Nagya! Jangan baru baca prolog udah membuat konsklusi!” Panji kembali menjitak kepalaku. Aku tersenyum dalam hati.

“Tapi, sastra itu menggairahkan. Dia merangsang otakmu untuk berpikir. Nih, aku kasih contoh salah satu karya dari Haruki Murakami. Pernah kamu berpikir untuk hidup seperti lingkungan di Norwegian Wood? Menjadi sosok hilang arah, mati rasa, main-main sama birahi dan akhirnya kamu sadar kamu hilang kontrol?”

“Aku sudah pernah sih. Well, tapi ngga main sama banyak lelaki.”

“Aku ngasih contoh paling cetek dari Murakami dan deket sama kepribadianmu loh,” Panji tersenyum jahil.

Huh! Ingin aku sundut lengan pria ini.

“Judul Norwegian Wood juga tidak asing karena inspirasinya datang dari lagu The Beatles dengan judul yang sama toh. Pernah dengar, kan?” Aku mengangguk. Siapa yang tidak kenal band asal Liverpool itu coba.

“Sastra itu tidak hanya jutaan deret tulisan. Setiap muatannya mengandung beberapa faktor ekstrinsik maupun intrinsik yang membuat imajinasi kita bermain dengan representasi yang berbeda. Kebudayaan yang beda di tiap novel saja bisa membuat kita menerjemahkan cerita dengan berbeda-beda loh.”

Aku masih setia menunggu Panji melanjutkan.

“Enam tahun lalu, saat aku melihat kamu datang ke studio tato Arsyo, aku melihatmu seperti sastra. Mungkin orang-orang menerjemahkanmu sebagai perempuan nakal dan kurang terdidik sehingga membuat tato tapi tampangnya polos.”

“Apalagi saat itu aku dengan tololnya bertanya; “di tato sakit ngga sih?”

Panji tertawa, aku juga.

“Itulah, karena aku melihatmu sebagai sastra, aku menerjemahkan kepribadianmu sebagai sosok yang menarik. Kamu datang dari keluarga darah biru, budaya yang luhur dan tutur, tapi kelakuanmu ngelantur. Disitulah aku jatuh cinta kepadamu. Kamu berani mencari tahu apa yang kamu inginkan. Kamu membuatku ingin terus membalik setiap lembar harimu tanpa peduli kapan tulisan tamat terbentang. Aku ingin menjadi salah satu tokoh yang menghiasi stensilan hidupmu dari bab tengah hingga akhir kata.”

Aku terdiam mendengar kata-katanya.

“Coba bayangkan Nagya, seandainya sastra tidak ada. Tidak ada cerita tentang Romeo dan Juliet. Tidak ada pembahasan soal eksistensialisme. Tidak ada gagasan-gagasan politik kiri ala Karl Max. Peradaban ini, dibangun oleh setiap tinta mereka. Kita percaya mereka ada, dengan beredarnya karya mereka dimana-mana.”

Aku menanggapi metaforanya, “oh, jadi kamu mau bilang aku adalah sang sastra, yang ada karena hidupnya terukir dan menjukkan sebuah keeksisan.”

Got it.”

Panji merangkul bahuku dan menggesernya agar bersandar di dadanya yang bidang. Wangi parfum Hugo Boss menyeruak ke dalam indera penciumanku.

“Aku beruntung menikah dengan pria sepertimu.”

“Kenapa? Kau bilang pembaca sastra membosankan?”

“Setidaknya aku punya hari untuk berdebat secara cerdas dan sedikit intelek. Kamu juga mau meladeniku yang sok tahu.”

“Karena aku sudah bilang, aku ingin ikut berperan hingga bukumu tamat.”

“Meski kita tidak bisa mempunyai anak yang mampu mengikuti alur debatmu?”

Ja, natuurlijk!

Aku tersenyum, mematikan habis sumbu rokok yang masih menyala.


Lab sekolah,  laptop, dan secarik kertas
Jakarta, 2 Oktober 2014

Shinta Tidak Sempurna


Shinta mengerjapkan matanya. Debu-debu masih hinggap di dinding dan teralis besi yang memisahkan raga dari dunia luar. Dia menghela nafas pesimis sekaligus penuh kebencian selagi matanya melihat kosong ke ventilasi udara yang berada tiga meter di atasnya. Sinar matahari hanya mampu menyelinap dari celah sempit tersebut.

Kebebasan.

Sudah lama Shinta lupa rasanya berlari bebas diantara semak belukar dan rerumputan hijau. Sudah lama dia lupa sensasi dingin saat embun menyerap ke telapak kakinya. Semakin lupa pula ia dengan rasa meletup-letup yang muncul tatkala Rama diam-diam menerjang dari balik pohon dan menggelitiki pinggangnya lalu membiarkan dirinya terjatuh sambil memohon ampun yang dilanjutkan dengan ciuman lembut mereka sebagai penutup.

Shinta menyeka air mata yang menitik tanpa permisi. Suara derap langkah berat dan tergesa terdengar menggaung di kurungannya. Dia memasang ekspresi dingin saat grendel kunci diputar. Shinta bisa melihat seorang prajurit berbadan kekar melalui celah-celah rambutnya yang sudah berantakan sisa penyiksaan semalam.

“Bangun!”

Tubuh Shinta ditarik secara kasar. Dia melangkah pasrah mengikuti langkah prajurit tersebut. Shinta tahu kemana dia akan dibawa pagi ini.  Seperti hari-hari sebelumnya, Shinta memasuki ruangan yang besar nan terang. Permadani dengan bulu harimau terbentang di depan kasur berwarna putih bersih. Harum pekat melati memenuhi udara di ruangan tersebut. Sebenarnya, ruangan ini tidak tampak bagai ruang penyiksaan seperti fakta yang ada dibaliknya. Tapi, bagi Shinta, dimanapun tanpa Rama adalah tempat menyiksa. Terlebih ini adalah kamar Rahwana.

Si Tua Bangka itu sedang diboreh dengan minyak zaitun oleh pelayan-pelayannya sembari menyuap beberapa potong pisang. Perut buncitnya bergerak naik turun saat salah satu pelayan mengusap perutnya dengan minyak sehingga terlihat mengilap.

Saat melihat Shinta sudah berdiri terasing di ruangan tersebut, Rahwana bangkit dari duduknya. Shinta menatap dengan lirikan waspada pada setiap langkah Rahwana yang coba mendekatinya layaknya harimau melihat kancil lemah tak berdaya.

“Shinta.... Shinta.....,” Rahwana mengangkat dagu Shinta agar tatapannya yang nyalang murka terlihat lebih jelas.

“Sekusut ini saja masih tetap terlihat menggairahkan.”

Shinta mendesis jijik saat deru napas Rahwana menyentuh lehernya, menyapu setiap lekuk disana dengan lidahnya. Para pelayan berdiri terpaku seakan hal itu sudah menjadi beban pekerjaan mereka. Kelu lidah mereka menyaksikan pelecahan tersebut.

Tangan Rahwana mencengkram bahu Shinta hingga menyebabkan bekas kemerahan yang tercetak jelas di kulitnya yang putih. Kepala Rahwana mulai turun mendekati payudara Shinta yang ranum. Semakin memuncak kebencian Shinta hingga akhirnya dia melayangkan kepalan tinjunya ke kepala pemimpin Alengka tersebut. Sedikit terhuyung Rahwana dibuatnya. Saat Rahwana hendak berbalik, Shinta meludahinya.

Rahwana dengan bengis menarik rambut Shinta hingga pekikan kecil keluar dari bibirnya yang kering. Ditamparnya wajah mulus itu sekuat tenaga.

“Bajingan! Dasar perempuan jalang!”

Kepala Shinta terkulai diantara jeratan tangan Rahwana. Darah menetes di atas permadani bulu harimau sehingga meninggalkan jejak merah. Bibir Shinta sobek dan pipinya membiru. Diantara sisa-sisa kesadarannya, Shinta membalas makian Rahwana.

“Kau lah yang bajingan Rahwana! Kembalikan aku pada Rama!”

“Bermimpilah kamu sampai mampus! Ramamu tidak akan pernah datang!” Rahwana mencekik pipi Shinta.

“Rama akan datang dan memporak-porandakan istana hina ini,” Shinta tertawa nyinyir meski bibirnya terasa perih.

Mata Rahwana mendelik marah. Cahaya di bulatan hitam itu sudah redup tertutup kebencian dan nafsu duniawi. Dihantamnya kepala Shinta dengan guci berisi arak yang ada berada di nampan dekatnya. Shinta terjatuh dengan kepala yang bercucuran darah. Bau arak yang tajam bercampur amis darah mengalir di pangkal hidungnya. Kesadarannya lamat-lamat menurun dan meninggalkan bayangan kabur tentang ruangan penyiksaan tersebut.

Shinta masih bisa merasakan tubuhnya diangkat dan dibanting ke kapuk yang empuk. Suara murka dan tawa bengis Rahwana menggema bagai halusinasi diantara sadar dan tak sadar. Shinta merasakan kebaya sutra bermotif batik parang rusaknya disobek. Hatinya menjerit tetapi sekuat tenaga dia menahan isakan dan air matanya.

Tidak! Rahwana tidak boleh melihatnya menyerah.

Tangan Rahwana menjamah rakus paha, selangkangan, payudara, perut, dan vagina Shinta. Tubuh berlemak dan berkeringat itu menindihnya sambil mengarahkan kejantanananya yang kecil menuju liang kesurgaan Shinta. Shinta ingin menendang perutnya hingga isi dan kotorannya keluar, melumuri tubuh binal tersebut. Tapi terlambat, Shinta sudah tidak suci. Dia ternoda.

Jamahan itu semakin kasar dan menyebabkan lecet yang perih. Perih. Perih. Perih. Tapi bayangan Rama yang seakan datang dan menghajar Rahwana sampai tidak berbentuk menghangatkan hatinya. Dia kehilangan kesadaran.

Tanpa air mata, tanpa perlawanan.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------

note : Gue mencoba membuat cerita dari perspektif maha kuasa. Mencoba membedah kembali riwayat Ramayana dari penelisikan yang berbeda :) itung-itung latihan nulis lagi.

Kamis, 11 September 2014

Hiking ke Papandayan bersama Bikin Jejak

step by step to heaven

Tanggal 5-7 September 2014 kemarin, gue memulai penanjakan perdana gue. Dalam arti, ini penanjakan yang well organized dan bukan sekedar jalan-jalan lucu tanpa bawa carrier kayak ke Gunung Bunder dan Salak II kemarin. Gue berangkat bersama 24 orang lainnya dalam rombongan yang dipandu Kak Abi, temen lama gue. Dia nge broadcast soal trip ini atas nama Bikin Jejak, komunitasnya, dua minggu sebelum hari H. It cost 280rb and I instantly found a way to collect thus money less than two weeks. Alhamdulillahnya sih, ada masukan uang dari menang lomba poster di 61 J

Jumat, 5 September 2014
Pulang sekolah, gue langsung packing karena jam 8 gue harus udah di terminal bis Kampung Rambutan. Checking all my personal stuffs, then went ahead to meeting point.

Sampe meeting point, hujan gede. Telat lah gue sampe lokasi dan ternyata bukan gue doang yang telat. Dari 25 orang, yang baru ngumpul cuma 3 orang yaitu Bang Ipo, Mas Sigit, sama sodaranya. Jam setengah 9 dan baru 4 orang, ini sih namanya ngaret bangettsss. Jadilah gue neduh sebentar sambil sebats. Sebats, dubats, tibats, lama lama abis dah. Satu persatu rombongan dateng dan kita ngumpul di jembatan penyebrangan sekalian neduh. Ternyata malam itu ada grup rombongan lain yang akan menuju ke Gunung Ciremai punya temen Kak Abi, Mang Deden.

Satu persatu berdatangan. Bang Qin, Bang Abi, Kak Privi, Kak Nadilla, Bang Dhanis, Kak Berlin, Kak Arif, Kak Arra, Diah dan Kenny, Kak Ros sama temennya, Rombongan Malang Mas Adhi, Kak Dimas dan Kak Iffa, dan lain lain... Abis makan malem sedikit, badan mulai anget, bibir udah ngepul lagi, rombongan udah siap kayaknya. Ternyata sisa satu orang terngaret, Kak Chakra. Setelah semua kumpul kita berdoa dan jalan deh.

Bis berangkat jam 12.05 dari terminal Kampung Rambutan. Harusnya sih gue ajak Virza (alumni SMK 40, anak murid Pak Bams) bareng, Cuma gak ketemu dan susah sinyal. Gue juga harus irit batere. Total perjalanan Jakarta – Garut malem itu 6 jam.


Sabtu, 6 September 2014

Jam 6.30 bis gue mendarat dengan selamat di Terminal Pasar Induk Garut. Cuaca gunung yang dingin langsung menyambut muka gue setelah semaleman pegel mampus tidur di bis. Heran gue sama yang bisa tidur di dalem bis. Sampe di terminal, kita dikasi kesempatan sarapan pagi, cuci muka, pipis, boker, update status di Path, telepon sanak saudara, dan sebagainya asal kita senang.

Jam 7 kita naik ke angkot yang di carter buat ngebawa kita ke atas sebelum di oper naik pick up. Perjalanannya sekitar 1 jam dan setelah itu kita pindah naik pick up. Pick up men! Semacam gue sapi potong aja lah. Di pick up gue akhirnya ngerasain bumpy bumpy ride yang cihuy sebelum sampe di pos pertama alias Camp David. Cek lagi perlengkapan, lanjut sebats, isi perut lagi, terus kita berdoa dan memulai pendakian!

Oiya, gunung Papandayan ini termasuk gunung yang enteng dan bagus buat pemula. Apalagi, lokasinya deket sama Jakarta. Dengan ketinggian 2665 mdpl, trek yang banyak “bonusan” bikin kita ngga bakal terkuras banget lah tenaganya, apalagi yang pemula. Tapi, berhubung gue punya riwayat asma, gak enak banget ketika udah sampe di ketinggian sekian yang bikin gue sesek nafas. Orang lain pas break helaan nafasnya gak selebay gue yang macem orang sekarat.

Sejam pertama pendakian kita bakal melewati bebatuan dan melihat Kawah Papandayan, kawah belerang yang kece abez.  Ternyata Papandayan ini bisa dikategorikan sebagai gunung berapi tidur. Selesai lewatin medan berbatu, kita sampai di Goberhut, warung gitu buat istirahat. Lanjut jalan lagi ngelewatin padang rumput kecil trus baru deh lewatin jalan sempit yang nanjaknya dahsyat banget. Gue istirahat ngga kehitung di trek ini. Cape banget.

Sampailah kita kemudian di Pos II. Setelah lapor, jajan baso ikan, lanjut naik lagi ke pemberhentian akhir sebagai tempat nge camp kita. Pondok Salada. Energi gue udah mau semaput banget pas nanjak ke Pondok Salada meski udah di doping make susu dan madu.

Finally, sampailah di Pondok Salada. Istirahat sebentar lalu tim panitia membangun tenda. Ada oleh-oleh kenangan dimana Kak Abi kehilangan satu tenda. Entah tendanya hilang dimana tapi ya intinya sore itu kita cuma ada enam tenda. Gue solat, sebats lagi (disini dosis sebats gue gak tanggung-tanggung. Dingin men!), trus tidur siang sebentar. Oya di tenda gue kebagian bobok sama Kak Sofyan dan cewenya Kak Diah. Awalnya Cuma tiduran capek eh ketiduran beneran. Bangun boci, udah ada Kak Ifa dan cewe lain yang nyiapin makanan. Pada goreng tempe, mi, dan banyaklah. Gue makan berdua Kak Arif.

Selesai solat Ashar dan pipis (ngantri pipisnya 30 menit men) kia jalan-jalan sore ke padang edelweiss deket camp. Foto-foto trus malemnya cari kayu bakar. Gue udah make baju 4 lapis termasuk jaket, sarung tangan, sama kaos kaki 3 lapis aja masih gak mempan ngelawan dingin. Ah, efek hati kopong juga nih keknya :p. #digampar


Minggu, 7 September 2014

Malem itu gue tidur cepet. Jam 8 udah tepar. Tidur ayam sih sebenernya. Dingin banget gilaaaaaaa. Suhunya sekitar 10 derajat kali. Udah make sleeping bag tetep gak mempan. Mana gue di tenda Cuma bertiga. Kak Kenny sama Diah pelukan, gue dapet sisaan doang #huft. Ternyata jam 10an anak anak pada main UNO dan masak. Boro-boro gue mikirin makan, keluar sleeping bag aja ogah. Sempet menggigil gue jam 2 pagi. Daaaaan, pas gue bangun jam 2 pagi, kondisi camp mulai tenang. Gak terlalu berisik. Langit baru keliatan cantiknya. Gue pipis trus balik bobo lucu. Sebelum bobo, mari minum minum dulu sedikit biar anget. Jangan kebanyakan, ntar kobam.

Di tenda, gue tidur ayam lagi. Berharap dapet imbas anget pelukan pasangan sebelah kanan gue. Jam 5 kurang dibangunin sama suaranya Kak Nadilla buat liat sunrise. Abis itu gedor-gedor tenda Kak Abi. Actually, kita udah telat buat liat sunrise. Tapi, berhubung kata Kak abi ke Hutan Mati Cuma 15 menit yaudin. Jalan-jalan kita jam 5.15 dan sampe Hutan Mati 5.30

Pemandangannya? Epic!!


Sunrise di Hutan Mati


my new family!

Turun dari Hutan Mati, sarapan sedikit dan ketemu angkatan orang-orang sleepyhead. Setelah itu kita siap-siap berangkat ke Tegal Alun, padang edelweiss yang ada di puncak. Jam delapan kita berangkat naik. Perjalanan ke Tegal Alun ini keparat banget serunya. Make acara kesasar, ngedaki batu-batu yang lumayan curam. Pokoknya epik deh. Kebayar semua rasa capek, kesasar, ngantuk, pegel pas ngedaki. Apalagi pas kesasar, kita jatuhnya menlintasi satu puncak. Hahaha.

Tegal Alun saatnya foto foto sampe puassssss!

Ceng-cengan, ketawa-tawa, foto-foto. Lengkap deh. Hepi banget gue.

Turun dari Tegal Alun, dihadapkan pada kenyataan kalau siang ini kita bakal back to hopeless city. Kita turun gunung jam 2 siang dan sampai terminal algi jam 5.30 sore. Bis berangkat jam 6 dan sampailah kita di terminal Kampung Rambutan lagi jam 12 malem! Heheh


Tegal Alun, the edelweiss field



my fav's shot!

tent's mate. Kak Sofyan dan Kak Diah







Till next trip ya, my new little family J
Cheers,

Nyoron

Rabu, 03 September 2014

BLESSED

Hola!

Life has been good. Too good, actually. I think God concentrate the bless upon my path. So, what's upcoming? I won 2 design competition in a week! :)

First, I won design competition held by TERANGI (Terumbu Karang Indonesia) for coral reef tranplantation desgin and brain mapping of its seminary theme. My group consist Me, Indaher, Yolla, Diah, and Irna. We won the grand prize for field trip at Pulau Harapan (again!) on Wednesday 28 August - Thursday 29 August, 2014. There's also another schools whom won the prize from 12 SHS, 57 VHS, 38 SHS, 28 SHS. I met Maruli, my bestfriend from JHS on the trip. The trip was so fun fun fun.

We depart from Marina harbour (my first time using speedboat and feel like filthy rich dude lol) and it just took 1,5 hours long to arrive at P.Harapan. The most exciting point of this trip actually because it just a month after my last trip to Pulau Harapan. Aaaaah, I felt so happy that my dream comes true to be back there again. Our trip purpose is to educate us about coral reef, beach ecosystem, and oceanology. I did a lot of observation on first night after discussion and study clinic of the day. I experienced some stargazing shots when the skies there was so mesmerezingly beatifull!



the view in front of our homestay

night sky on Pulau Harapan. Canon EOS 1000D SS 30s, f4.5, ISO 6400

4 p.m

sunrise on Pulau Kelapa


Second, Me and Indaher joined digital poster competition on Saturday after the trip on 61 SHS Jakarta. She won the first place meanwhile, I won the second place. LOL. We got a pretty good prize and Indaher picked up some of our friends to have a movie night that day.

And now, I have two design projects. Queen Dimsum Logo for Kak Mirga and Lenggang Jakarta logo revision for Jakarta Food&Culture Park. I wish all of my projects going well and done perfectly. I really excited that my logo design entered one of the best 5 logo.

Yesterday, PT. Sinar Sosro invited us, the 5 competitor to evaluate our design. They said, our design chosen because IT CLOSED TO THE LOGO CRITERIA, BUT THE DESIGN ISN'T LOGO ITSELF. We had some little seminary to educate us "What is logo?" and "How to make a good and proper logo?" Some like that.

We got the revision chance and deadline is September 9, 2014. The announcement will be held by the end of September as their promise. And the winner will meet Mr. Ahok, DKI Jakarta (soon to be) Governor. Aaaaaargh! i really want a piece of selfie with Mr. Ahok!

But unfortunately, PT. Sinar Sosro said, if until the deadline comes, there's no logo qualified and appropriate enough to be chosen, we still get the prize., equally. Sounds fair enough but actually what I want isn't about the money but also shake hands with Jakarta's Front Man. :')

So, wish me luck! I'll do my best and show my courage as Multimedia student and prove to my parents that I can make them proud!

Ciao!




Nyoron

Sabtu, 16 Agustus 2014

Pulau Harapan buat yang jadi korban PHP(part2)

masih di tanggal 30 Juli 2014 Masehi

Pulau pertama sebagai snorkleing spot kita adalah......
jeng jeng!! Pulau Kayu Angin. Di kapal, gue duduk di belakang, pdkt manja sama dua penanggung jawab kita selama di pulau. Ah, sayangnya gue lupa nanya mereka Bapak siapa. Gue diajarin cara nyetir kapal motor dan gue langsung dengan jumawanya nyetir motor membelah laut biru. HAHAHA. Gue memandang temen-temen gue di depan dengan tatapan "your lives on my hand kiddos!" Trus gue seperti laut menyanyikan bekson Pirates of Carribean. hahaha. Jeng jeng dereng teng teng jereng jereng~

Pulau ini agak sepi ikan. Terumbu karang juga cuma di satu titik. Jadinya di Pulau ini snorkleingnya cuma buat pemanasan aja. Karena masih pemasanan, berkali-kali gak sengaja nelen air asin, mata gue perih dan sebagainya. tetep mangat tapi. Bulu babi disini lumayan banyak sih bagusnya, tanda ekosistem air masih lumayan seimbang, tapi arusnya lumayan kenceng karena sedikit terumbu. So. it's not really reccomended for you who just wanted to enjoy the underwater view.

Next, Pulau Bira.
Disini kita makan siang doang sih. Tapiiiiii, dermaganya photoable banget. Haha. Sensasi makan siang di Pulau Bira tuh dahsyat banget menurut gue (halah). Yaaa, lo makan siang di bibir pantai, gak kepanasan karena atas lo pohon rindang gitu, sambil makan kaki lo dibasuh ombak yang nakal bolak balik. Heaven's made on earth baby!

Beres makan siang, cabs ke spot berikutnya. Pulau Pelangi! Jeng jengggg.
Yang gue suka dari Pulau Pelangi adalah, airnya bersih!! Perjalanan menuju spot ini seru banget karena kita dihadiahin ombak yang tinggi-tinggi. Bapak pengemudi kapalnya sengaja melanin laju kapal kalo ada ombak gede dateng, jadi tuh rasanya kayak main Kora-Kora versi real! dan itu saikkkk alig!
Pulau Pelangi ombaknya fine, ngga bikin lo terbawa terlalu jauh. Terumbu karangnya juga lebih banyak dan beragam. Ada yang kayak karpet, ada yang sejenis polip gitu. Ikannya juga ramah-ramah banget ngga sok jual mahal gitu. Karena disini underwater view nya clear banget, puas-puasin foto buat stok dp bbm haha!
Sialnya, di Pulau ini tenaga gue lumayan kekures banyak. Padahal nyantai aja snorkle nya. Pas mau naik kapal gue panik karena lemes banget gabisa manjat :( sedih.

Bhaaaak!!

belum nyelem dengan sempurna



Oya, satu hal yang gue sayangkan, jangkar yang dipakai kapal adalah bekas kaleng cat yang diisi semen. Mereka ngelempar jangka asal gitu jadi ada beberapa gugusan karang rebah yang rusak :(
Ada juga dalam perjalanan sepanjang ke pulau banyak yang mabok laut dan membuang sampah plastik ke laut. Capek deh, hari gini masih nyampah di laut. Datengnya mau, ngejaga

The most epic to epic to epic epicest spot we visited : Pulau Macan Tutul
Disini, terumbu karangnya jauuuuuuuuuuhhhh lebih banyak, lebih berwarna-warni, terus bulu babinya guede guedeeee, ikannya lebih banyak, arusnya tenangggg banget. Pas kita sampai spot ini jam 4an udah ada rombongan dari homestay lain juga yang lagi asik nyebur. Satu yang gue gak suka, ikan disini jorok.

Udah ada yang pernah liat ikan boker belom? Jadi gue kan lagi nyelem sambil foto-foto, pas gue selesai mainan sama patrick berwarna biru, gue liat ikan kayak ikan Dori di Finding Nemo itu. Gue buntutin ikannya soalnya mau gue elus, eh gak lama ikan itu diem ngga berenang, gue kira dia emang pengen dielus, eeeeeeeeeh taunya doi boker! depan muka gue. Aaaargh refleks gue mundur ajatuh. Siake.

Terakhir, kita berburu sunset~ yuhuuu~
Kapal kita diparkir di dermaga Pulau Bulat. Pas lagi posisi kapal parkir, gue turun dan ngerasain anget anget di air. Ternyata, Kak Ado sama Kak Rangga pipis -____- kena cipratan pipis deh gue. Jadi, katanya Pulau ini adalah milik Alm. Soeharto, presiden kedua RI. Pulaunya sih bagus tapi ada sensasi mistis-mistis gitu. Gak tau deh kenapa. Kita disambut dua gading gajah bersilangan di pintu masuk pulau, yang lain nyebar ke dermaga buat foto foto sok eksotis sama sunset. Gue ama Kak Rachel sibuk nyari wc.

Tadinya sih kita masuk kayak ke bekas bangunan gitu. Gue kan orangnya "sensitif" ya tapi gue heran aja gitu. Disini suasana mistisnya kan kentel ya tapi gue ngga ngerasa keganggu gitu. You know lah...
Dari bekas bangunan gitu, kayak ada teras belakangnya. Gue sama Kak Rachel lewat situ dan gue nemuin sebuah jembatan dermaga gitu. Penasaran, gue sibak aja tuh akar pohonnya yang lumayan gede dan VOILAAAAA!!

We found a hidden spot in Bulat Island! Jadi, dia kaya ada kayu jembatan dermaga gitu yang putus diujung trus sisi kiri kanan nya dipasak tembok dari karang. Jadi, ombak yang dateng selalu pecah dan nyipratin kita kalo berdiri di ujung jembatan. It's time to ngalaaaaay!!! lol Gue dapet sunset yang sempurna disini. Sunset yang menurut gue, cuma bisa dinikmati sama yang mau menikmati.



Then we headed back to homestay.

Ada kejadian serem di homestay. Jadi pas gue udah kelar mandi, udah selesai adu kenceng-kencengan bunyi kentut sama Kak Rachel dan Bang Natsir, gue izin ke Kak Tyo jalan-jalan keliling pulau. Jadi, Pulau Harapan ini sebenernya agak serem juga sih kalo malem. Jalanannya ngga semua diterangi lampu. Rame sih sama suara turis di homestay yang kedengeran kalo kita lewat, tapi selebihnya ya sunyi aja gitu jalanannya.

Gue duduk di dermaga belakang yang banyak kapal warga bersandar. Gelap tapi ngga gelap banget sih. Gue duduk di pendopo gitu. Oiya, sinyal disini sebenernya kenceng-kenceng kok. Gue make 2 provider saat itu. Telkomsel buat internetan (which is lupa isi kuota jadinya gabisa apdet ots) sama  buat teleponan. Di pulau ini sinyal 3 bagus dan lumayan jernih, tapi kalo 3G buat internetan suka ilang-ilangan. Empot-empotan sinyalnya. plagi kalo dalam perjalanan di laut. SMS aja suka ilang sinyal.

So, ketika gue lagi duduk malem itu dan teleponan sama temen gue yang lagi mudik ke suatu antah berantah i Banten #dikeplak, gue lagi ngeliat ke arah kapal-kapal yang bersandar. Gak lama, mata gue kayak nangkep bayangan laki-laki dadah ke arah gue. Bayangannya gelap total tapi gue bisa simpulkan dia laki-laki. Bayangan itu ada di ruang kemudi kapal trus kayak melesat hilang ke arah pohon yang berjarak 4 meter di depan gue. Loading sebentar...................................... terus gue ngibrit sekenceng-kencengnya ke homestay.

Anjrit!

Di homestay Kak Tyo (yang ternyata bisa ngeliat gitu gituan juga!) bilang dia cuma pengen say hello dan naksir ama gue. Ah, asem! Sekalinya yang naksir mkhluk halus kan males juga jir.

Keesokannya kita check out homestay jam 7 dan kapal kita berangkat dari dermaga Pulau Kelapa jam 8. Goodbye paradise!

Rincian biaya
Rp 350.000
- transport PP Muara Angke- P. Harapan
- kapal buat island hopping
- snorkle set
- homestay AC
- makan siang
- BBQ ikan (kerapu, baronang, apa tau semuanya enak dahsyat)
- sarapan pagi

Biaya tidak termasuk
- tips guide (kita sih patungan perorang ceban)
- taksi ke angke (patungan 50rb per orang)
- rujak yang beli di pelabuhan
- minta diajarin nyetir kapal motor heheh
- sebats mentol 3 

Jadiiii, yuk liburan ke Kepulauan Seribu! Tapi inget, jangan ambil apapun yang hidup di laut. Ambil hanya foto dan kenangan, tinggalkan hanya jejak jangan sampah. Save our sea!

*eniwei, ketika gue menyelesaikan post ini, gue lagi berjuang memenangkan lomba desain brain mapping soal seminar  Terumbu Karang Buatan dan Ekosistem Pesisir bersama Indaher dan 3 adek kelas gue demi memenangkan field trip ke Pulau Harapan (lagi)! hueheheh doain ya~*

cheers,


Nyoron!

Kamis, 14 Agustus 2014

Pulau Harapan buat yang jadi korban PHP

Jadi *tarik nafas dalem dalem*
HELLO BLOGGER!!
buset deh udah hampir dua bulan sejak post gue terakhir! Nope, ini bukan karena semangat nulis gue lagi drop banget atau apa tapi gue ada kendala sama koneksi internet di rumah. And I swear to God buat lebih rajin lagi nge post.
Eniwei, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Minal Aidin wal Faidzin semua. Happy Ied Mubarak 1435 H :D

Gue mau cerita soal trip gue ke Pulau Harapan abis lebaran kemaren. Trip ini diketuai oleh Kak Tyo, temen gue dari instagram yang menjuluki dirinya ranger laut. Hahaha. Pulau Seribu emang udah jaadi bucket list tahun 2014 gue. Kemaren bulan Maret abis dari Cipir, Kelor, dan Onrust. Kak Tyo nge broadcast soal trip ini jauh-jauh hari sebelum lebaran. Eksekusi tanggal 30-31 Juli.

Gue menjaring temen gue Kak Rachel yang ngajak sodaranya juga Kak Febri. Semalem sebelum keberangkatan gue nginep di rumah Kak Rachel.

30 Juli 2014
Mata gue masih rada sepet pas taksi berangkat jam lima kurang dari Bintara, rumah Kak Rachel. Sopir yang kayaknya faham betul Jakarta lagi sepi menjadikan tolnya berasa jalan pribadi. Gue ngeliatin speedometer konstan di angka 120km/jam. Update di Path done trus chatting-chatting deh sama temen gue. Kita sampai di dermaga Muara Karang jam 5.20 pagi. Rekor gila Bekasi-Jakarta Barat 45 menit.

Sampe di dermaga, gue kira Kak Tyo udah sampe soalnya dia bilang meeting point di SPBU Muara Angke jam 5.30. Ternyata doi masih kejebak macet di pintu masuk Pasar Ikan Muara Angke. Emang tadi sempet ada antrian bongkar muat sih. Setelah ketemu Kak Tyo, masuklah kita ke dermaga. Rombongan terdiri dari 15 orang dan saling kenalan-kenalan lucu. Jadi rombongan teletabis harapan ini adalah gue, Kak Rachel, Kak Febri, Kak Tyo, Kak Rangga, Ai (pacar kak Tyo) dan temennya tiga orang, Kak Nyoman (aslinya gue gatau nama dia siapa tapi karena dia make topi khas Bali ya asumsiin aja gitu), Bang Natsir, Kak Tere, Kak Rina, Kak Abo, Kak Resnu!

udah semangat 45 hore-hore. kapal kita delay.......
Berasa lagi di bandara banget dah. Gabut ngeliatin sunrise sampe kepanasan sendiri di dek atas, mainan harmonika ampe kering, foto-foto, ngeledikin orang udah semua ampe bosen. Fyi, saat itu kan lagi high season ya jadi kondisi kapal penuh gitu.

Jam 7 lewat 15 menit baru kapal berangkat. Perlahan tapi pasti gradasi warna air berubah dari item butek jadi ijo zamrud kemudian biru jernih. Kapal melewati pulau pulau selatan yang sudah mulai kotor. Pulau Cipir, Pulau Bidadari, Pulau Onrust, terusssss bergerak ke kepulauan tengah, Pulau Tidung, Untung Jawa. Setelah perjalanan 3 jam yang melelahkan dan kaki gue jadi sandaran orang-orang mabok laut, sampailah kita di Pulau Harapan! *buka kemeja, buang semua harapan palsu*

Dermaga depannya rame banget men. Panas banget men. Udah mau jam 12 men. Kerennya pulau-pulau di utara (kita biasa nyebutnya pulau atas karena posisinya jauh dari Jakarta) adalah dari dermaga aja airnya udah jernih banget. Kita bisa liat dasar laut dan terumbu karang yang nongol dan ngintip gitu. Pasirnya aja bersih banget gitu. Airnya asin banget gitu. Tapi sayang, gak lama mata memandang ada tumpukan ranting dan sampah yang diuruk di dekat dermaga. Hhhh....

Sampai homestay Baronang, kita istirahat sebentar, pembagian kamar, trus bersiap buat snorkeling sampe keling! Ini literally kita snorkle sampe keling men. Jam 12 siang sampe 6 sore jadwal kita snorkle. Hmm... Put on the bikini, cover up with sunblock, then off we go!

bersambung dulu....