Kamis, 02 Oktober 2014

Shinta Tidak Sempurna


Shinta mengerjapkan matanya. Debu-debu masih hinggap di dinding dan teralis besi yang memisahkan raga dari dunia luar. Dia menghela nafas pesimis sekaligus penuh kebencian selagi matanya melihat kosong ke ventilasi udara yang berada tiga meter di atasnya. Sinar matahari hanya mampu menyelinap dari celah sempit tersebut.

Kebebasan.

Sudah lama Shinta lupa rasanya berlari bebas diantara semak belukar dan rerumputan hijau. Sudah lama dia lupa sensasi dingin saat embun menyerap ke telapak kakinya. Semakin lupa pula ia dengan rasa meletup-letup yang muncul tatkala Rama diam-diam menerjang dari balik pohon dan menggelitiki pinggangnya lalu membiarkan dirinya terjatuh sambil memohon ampun yang dilanjutkan dengan ciuman lembut mereka sebagai penutup.

Shinta menyeka air mata yang menitik tanpa permisi. Suara derap langkah berat dan tergesa terdengar menggaung di kurungannya. Dia memasang ekspresi dingin saat grendel kunci diputar. Shinta bisa melihat seorang prajurit berbadan kekar melalui celah-celah rambutnya yang sudah berantakan sisa penyiksaan semalam.

“Bangun!”

Tubuh Shinta ditarik secara kasar. Dia melangkah pasrah mengikuti langkah prajurit tersebut. Shinta tahu kemana dia akan dibawa pagi ini.  Seperti hari-hari sebelumnya, Shinta memasuki ruangan yang besar nan terang. Permadani dengan bulu harimau terbentang di depan kasur berwarna putih bersih. Harum pekat melati memenuhi udara di ruangan tersebut. Sebenarnya, ruangan ini tidak tampak bagai ruang penyiksaan seperti fakta yang ada dibaliknya. Tapi, bagi Shinta, dimanapun tanpa Rama adalah tempat menyiksa. Terlebih ini adalah kamar Rahwana.

Si Tua Bangka itu sedang diboreh dengan minyak zaitun oleh pelayan-pelayannya sembari menyuap beberapa potong pisang. Perut buncitnya bergerak naik turun saat salah satu pelayan mengusap perutnya dengan minyak sehingga terlihat mengilap.

Saat melihat Shinta sudah berdiri terasing di ruangan tersebut, Rahwana bangkit dari duduknya. Shinta menatap dengan lirikan waspada pada setiap langkah Rahwana yang coba mendekatinya layaknya harimau melihat kancil lemah tak berdaya.

“Shinta.... Shinta.....,” Rahwana mengangkat dagu Shinta agar tatapannya yang nyalang murka terlihat lebih jelas.

“Sekusut ini saja masih tetap terlihat menggairahkan.”

Shinta mendesis jijik saat deru napas Rahwana menyentuh lehernya, menyapu setiap lekuk disana dengan lidahnya. Para pelayan berdiri terpaku seakan hal itu sudah menjadi beban pekerjaan mereka. Kelu lidah mereka menyaksikan pelecahan tersebut.

Tangan Rahwana mencengkram bahu Shinta hingga menyebabkan bekas kemerahan yang tercetak jelas di kulitnya yang putih. Kepala Rahwana mulai turun mendekati payudara Shinta yang ranum. Semakin memuncak kebencian Shinta hingga akhirnya dia melayangkan kepalan tinjunya ke kepala pemimpin Alengka tersebut. Sedikit terhuyung Rahwana dibuatnya. Saat Rahwana hendak berbalik, Shinta meludahinya.

Rahwana dengan bengis menarik rambut Shinta hingga pekikan kecil keluar dari bibirnya yang kering. Ditamparnya wajah mulus itu sekuat tenaga.

“Bajingan! Dasar perempuan jalang!”

Kepala Shinta terkulai diantara jeratan tangan Rahwana. Darah menetes di atas permadani bulu harimau sehingga meninggalkan jejak merah. Bibir Shinta sobek dan pipinya membiru. Diantara sisa-sisa kesadarannya, Shinta membalas makian Rahwana.

“Kau lah yang bajingan Rahwana! Kembalikan aku pada Rama!”

“Bermimpilah kamu sampai mampus! Ramamu tidak akan pernah datang!” Rahwana mencekik pipi Shinta.

“Rama akan datang dan memporak-porandakan istana hina ini,” Shinta tertawa nyinyir meski bibirnya terasa perih.

Mata Rahwana mendelik marah. Cahaya di bulatan hitam itu sudah redup tertutup kebencian dan nafsu duniawi. Dihantamnya kepala Shinta dengan guci berisi arak yang ada berada di nampan dekatnya. Shinta terjatuh dengan kepala yang bercucuran darah. Bau arak yang tajam bercampur amis darah mengalir di pangkal hidungnya. Kesadarannya lamat-lamat menurun dan meninggalkan bayangan kabur tentang ruangan penyiksaan tersebut.

Shinta masih bisa merasakan tubuhnya diangkat dan dibanting ke kapuk yang empuk. Suara murka dan tawa bengis Rahwana menggema bagai halusinasi diantara sadar dan tak sadar. Shinta merasakan kebaya sutra bermotif batik parang rusaknya disobek. Hatinya menjerit tetapi sekuat tenaga dia menahan isakan dan air matanya.

Tidak! Rahwana tidak boleh melihatnya menyerah.

Tangan Rahwana menjamah rakus paha, selangkangan, payudara, perut, dan vagina Shinta. Tubuh berlemak dan berkeringat itu menindihnya sambil mengarahkan kejantanananya yang kecil menuju liang kesurgaan Shinta. Shinta ingin menendang perutnya hingga isi dan kotorannya keluar, melumuri tubuh binal tersebut. Tapi terlambat, Shinta sudah tidak suci. Dia ternoda.

Jamahan itu semakin kasar dan menyebabkan lecet yang perih. Perih. Perih. Perih. Tapi bayangan Rama yang seakan datang dan menghajar Rahwana sampai tidak berbentuk menghangatkan hatinya. Dia kehilangan kesadaran.

Tanpa air mata, tanpa perlawanan.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------

note : Gue mencoba membuat cerita dari perspektif maha kuasa. Mencoba membedah kembali riwayat Ramayana dari penelisikan yang berbeda :) itung-itung latihan nulis lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar