Kamis, 02 Oktober 2014

Nagya dan Panji


Aku menghisap rokok menthol di selipan jariku sambil mengamati deretan rak buku berisi tetek bengek sastra dan filsafat. Mataku menyipit mencoba mencerna nama pengarangnya satu persatu. Nietzche, Sartre, Coelho, Murakami, Mishima, serta beberapa nama Indonesia, Seno Gumira, Ayu Utami, Djaenar Maesa Ayu, Hamka, Amoedya Noer, berderet rapi di sela-sela papan kayu mahoni yang dipelitur dan berbentuk persegi panjang. Satu kotaknya mampu menampung hingga sepuluh buku yang tebalnya dipercaya untuk menimpuk maling.

“Hey! Lihat apa?”

Seseorang mengetuk puncak kepalaku. Aku meringis sebal sambil bersiap menarik hisapan berikutnya.

“Apa sih yang kamu lihat dari sekumpulan buku berlabel sastra ini?”

Mataku memicing mencoba mencerna maksud perkataan Panji. Si pria berjanggut halus ini masih menatapku teduh, tidak selaras denganku yang terlihat seperti musuhnya.

Aku menggeleng.

“Engga ada. Namanya aja udah bikin bosen.”

Panji menarik sebatang rokok dari sakunya. Memantik api yang menyala setelah zippo dibuka lalu meresapi hisapan pertama. Aku mengalihkan diri dari matanya.

“Aku melihat kamu seperti sastra, Nagya. Enam tahun lalu, saat kita masih ingat cara bersenang-senang tanpa peduli setan. Kamu dua satu, aku dua lima,” aku menyimak tenang. Mencoba membiarkan dia kembali menceritakan awal kisah kami.

“Aku tidak mau disamakan seperti kertas-kertas itu. Kertas berisi fiksi maupun hipotesa yang bahasanya njelimet dan bikin mumet.”

Kami tidak sengaja menghembuskan asap bersamaan. Semilir angin dari pintu geser kaca yang terbuka lebar di samping kami masuk tanpa permisi lalu menerbangkan asap-asap membumbung pergi.

“Seperti itulah kamu. Tidak dulu, tidak sekarang. Mungkin bagimu, sastra membosankan, tidak mempesona, sebuah tradisi estafet dari masa ke masa yang membuat manusia fakir imajinasi bosan mem—“

“Tunggu!” Panji agak kaget.

“Kamu bilang aku fakir imajinasi?!”

Panji menghembuskan nafas gemas, “Nagya! Jangan baru baca prolog udah membuat konsklusi!” Panji kembali menjitak kepalaku. Aku tersenyum dalam hati.

“Tapi, sastra itu menggairahkan. Dia merangsang otakmu untuk berpikir. Nih, aku kasih contoh salah satu karya dari Haruki Murakami. Pernah kamu berpikir untuk hidup seperti lingkungan di Norwegian Wood? Menjadi sosok hilang arah, mati rasa, main-main sama birahi dan akhirnya kamu sadar kamu hilang kontrol?”

“Aku sudah pernah sih. Well, tapi ngga main sama banyak lelaki.”

“Aku ngasih contoh paling cetek dari Murakami dan deket sama kepribadianmu loh,” Panji tersenyum jahil.

Huh! Ingin aku sundut lengan pria ini.

“Judul Norwegian Wood juga tidak asing karena inspirasinya datang dari lagu The Beatles dengan judul yang sama toh. Pernah dengar, kan?” Aku mengangguk. Siapa yang tidak kenal band asal Liverpool itu coba.

“Sastra itu tidak hanya jutaan deret tulisan. Setiap muatannya mengandung beberapa faktor ekstrinsik maupun intrinsik yang membuat imajinasi kita bermain dengan representasi yang berbeda. Kebudayaan yang beda di tiap novel saja bisa membuat kita menerjemahkan cerita dengan berbeda-beda loh.”

Aku masih setia menunggu Panji melanjutkan.

“Enam tahun lalu, saat aku melihat kamu datang ke studio tato Arsyo, aku melihatmu seperti sastra. Mungkin orang-orang menerjemahkanmu sebagai perempuan nakal dan kurang terdidik sehingga membuat tato tapi tampangnya polos.”

“Apalagi saat itu aku dengan tololnya bertanya; “di tato sakit ngga sih?”

Panji tertawa, aku juga.

“Itulah, karena aku melihatmu sebagai sastra, aku menerjemahkan kepribadianmu sebagai sosok yang menarik. Kamu datang dari keluarga darah biru, budaya yang luhur dan tutur, tapi kelakuanmu ngelantur. Disitulah aku jatuh cinta kepadamu. Kamu berani mencari tahu apa yang kamu inginkan. Kamu membuatku ingin terus membalik setiap lembar harimu tanpa peduli kapan tulisan tamat terbentang. Aku ingin menjadi salah satu tokoh yang menghiasi stensilan hidupmu dari bab tengah hingga akhir kata.”

Aku terdiam mendengar kata-katanya.

“Coba bayangkan Nagya, seandainya sastra tidak ada. Tidak ada cerita tentang Romeo dan Juliet. Tidak ada pembahasan soal eksistensialisme. Tidak ada gagasan-gagasan politik kiri ala Karl Max. Peradaban ini, dibangun oleh setiap tinta mereka. Kita percaya mereka ada, dengan beredarnya karya mereka dimana-mana.”

Aku menanggapi metaforanya, “oh, jadi kamu mau bilang aku adalah sang sastra, yang ada karena hidupnya terukir dan menjukkan sebuah keeksisan.”

Got it.”

Panji merangkul bahuku dan menggesernya agar bersandar di dadanya yang bidang. Wangi parfum Hugo Boss menyeruak ke dalam indera penciumanku.

“Aku beruntung menikah dengan pria sepertimu.”

“Kenapa? Kau bilang pembaca sastra membosankan?”

“Setidaknya aku punya hari untuk berdebat secara cerdas dan sedikit intelek. Kamu juga mau meladeniku yang sok tahu.”

“Karena aku sudah bilang, aku ingin ikut berperan hingga bukumu tamat.”

“Meski kita tidak bisa mempunyai anak yang mampu mengikuti alur debatmu?”

Ja, natuurlijk!

Aku tersenyum, mematikan habis sumbu rokok yang masih menyala.


Lab sekolah,  laptop, dan secarik kertas
Jakarta, 2 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar