Jumat, 10 Oktober 2014

Berceracau

Pengen bilang apa ya?
Oh iya, gue lagi kepincut banget sama lagu-lagu Float.
Dulu, sebenernya gue udah tau band Float tapi belom seasik sekarang di kuping gue. Mungkin efek umur kali ya. Semakin dewasa, kuping gue adaptasi dan makin nyaman sama beberapa genre tertentu aja. Dulu gue tahu Float dari film 3 Hari untuk Selamanya.

Sekarang, isi playlist lagi kegandrung sama band yang kemaren baru aja bikin Float2Nature sebagai perayaan annivesary mereka di Lampung.

Kedua, akhir-akhir ini gue selalu nemu buku bagus hasil ngoprek di Gramedia. Salah satunya, kumcer karya Djenar Maesa Ayu. Penulis yang sukses lewat Mereka Bilang Saya Monyet! ini berhasil menarik mata gue untuk membalik lembar demi lembarnya. Which ternyata, Djenar ini Floaters juga! hahaha..

Banyak yang bilang karya Djenar itu dangkal (as what I read on goodreads review), tapi menurut gue, cara bertuturnya yang blak-blakan, verbally dan mengangkat konsep tentang Perempuan, Seks, Human Trafficking, lumayan bikin gue betah bacanya. Atau ini cuma masalah selera baca? Hahah. Tapi sayang, plot cerita Djenar cukup mudah ditebak. Seperti kita udah dikasi panduan dalam game buat setiap quest nya. But  I salute her witty style and simple-attractive words even in monoton plot.

Well, selamat malam dan jangan lupa sikat gigi,




Nyoron

Hujan Bulan Desember

Gue engga tau udah berapa kali di blog ini bilang bahwa;
"Hey! It just two months left before year end"

Waktu tuh bener-bener misterius dan interkonsepsi.
Gue masih terkaget-kaget kalau sekarang udah bulan ke sepuluh dari duabelas bulan yang harus ditempuh dalam setahun. Perasaan, baru aja kemaren gue nulis hal yang sama dalam kondisi hati galau menye-menye terus ngga lama ngepost soal tahun baruan di rumah Ami dilanjut dengan bakar-bakar ayam sambil nunggu kembang api.

Resolusi tahun ini, unexpected! Ngga nyangka aja 70% yang penting udah terpenuhi semua. Alhamdulillah. Ternyata memang cara terbaik untuk bikin resolusi itu niat -> ditulis -> ditanamkan ke diri sendiri setiap hari.

I think, what I learn from this year is; It's no matter how long you lives, It's no matter how many times you've been here and there, but about how much we mean to live fully.

And, (cepat) selamat datang bulan desember. Bulan favorit gue. Musim hujan favorit gue. Bau tanah basah habis hujan, jalan becek, air netes dari pohon!


Good night,


Nyoron

Pulang

Aku rindu rumah
Perasaan yang menggangu setiap saat ku tatap jalanan di Harleemstraat yang ramai.
Perasaan yang menggeltik kala aku menyusuri Kernstraat 17a, Leiden.
Sesak yang menghimpit bila berpapasan dengan kakek-nenek seusia kalian di sekitar Universiteeit Bibliotheek.

Sejauh apapun, hangatnya bumi akan selalu berbeda.
Pabila, kita berbeda benua,
Tak satu tabula rasa.

Kelingking telah dilingkarkan sebelum kaki menjejak bandar udara.
Bahwa tahun esok kita kembali tatap muka.
Lalu tidak akan saling berkata,
"Sampai jumpa!"


Float - Pulang dan secangkir teh manis
Jakarta, 10 Oktober 2014

Kamis, 02 Oktober 2014

Resah


Aku merasa keresahanku hilang.

Aku menyesap mocha hangat yang terhidang di sisi kanan laptop. Uap hangat menguar dan menyisakan titik-titik embun di pinggir cangkir. Pagi mulai bergerak pergi dan berganti terik.  Layar laptop masih membentangkan layer kosong dengan pointer panda yang terus berkedip, menunggu di otak-atik. Sesekali mataku menatap layar handphone, menunggu satu pesan masuk namun bukan dari bos. Tidak kunjung datang. Aku menghela nafas, meluapkan kedataran yang sedari tadi mengawang-awang.

Aku merasa keresahanku hilang.

Dulu, entah kapan dunia awang itu nyata, aku terbiasa liar. Imajinasi dan emosiku berdebur bagai ombak di lautan lepas menunggu pecah bersurai di pantai. Diriku yang dahulu dengan mudah membangun awan-awan imajinasi yang tidak terbatas dan terombang-ambing mengikuti arusnya. Itu dulu, sebelum terlalu jauh relaita dan tatanan hidup serta moral tahik menyeretku terlalu dalam. Bara api di dadaku kini tinggal menunggu menjadi abu dan meresap di tungku.

“Kamu kan bisa kerja kantoran aja, nak. Kerja asal ada ijazah.”
“Tapi aku mau jadi seniman matang. Lingkungan yang mendukung.”

Dua hari lalu.

“Kamu kalau besar mau jadi apa aja bisa. Dokter, astronot, ilmuwan.”
“Tapi aku nggak suka eksakta.”
“Tapi Hayomi bisa kaya dan punya banyak uang.”

Tujuh belas tahun lalu. Umur tujuh.

Aku merasa keresahanku hilang.

Seniman tidak seharusnya terbawa realita. Kita terbiasa terjaga di alam nirwana. Alam dimana suwung merajalela dan membuat kita lupa. Hal yang tersulit terjadi sekarang adalah, terlalu banyak karbitan. Terlalu banyak hasil “seni” omong kosong yang berasal dari dunia nyata. Seni basi, seperti kata guruku.

Aku sendiri terlalu dini mengklaim diri sebagai seniman sejati. Apalah aku. Aku hanya suka menggambar, titik. Aku suka membuat apa yang tidak terucap tergores melalui pensil, cat, tinta di atas kertas.
Hhhh....

Aku menghela nafas. Mencoba menghimpun keresahan yang harus aku punya. Keresahan akan membawaku gila, lupa dunia, lalu masuk alam maya. Keresahan akan membuat tanganku bergerak maju dan menggores tanpa ampun, bagai seorang samurai yang sedang menghabisi lawannya.

Karena aku butuh keresahan itu. Kekritisan akan hal-hal polos yang sesungguhnya menunggu dimaki, di anjing-anjingkan, dipiaskan. Kekritisan yang aku metaforakan bagai melihat perempuan telanjang tetapi menyimpan sejuta sifat jalang.

Karena sekarang, saat logika menghempaskan dunia fana, sungguh aku merasa kesepian. Aku butuh keresahan itu yang akan membuatku terlihat kesepian tapi teramat gaduh di dalam. Duniaku terlalu ramai untuk kau sesaki dan mengerti.

Mampus kau! Dikoyak-koyak sepi

Sekolah, mocha hangat, dan Chairil Anwar
Jakarta, 30 September 2014

Nagya dan Panji


Aku menghisap rokok menthol di selipan jariku sambil mengamati deretan rak buku berisi tetek bengek sastra dan filsafat. Mataku menyipit mencoba mencerna nama pengarangnya satu persatu. Nietzche, Sartre, Coelho, Murakami, Mishima, serta beberapa nama Indonesia, Seno Gumira, Ayu Utami, Djaenar Maesa Ayu, Hamka, Amoedya Noer, berderet rapi di sela-sela papan kayu mahoni yang dipelitur dan berbentuk persegi panjang. Satu kotaknya mampu menampung hingga sepuluh buku yang tebalnya dipercaya untuk menimpuk maling.

“Hey! Lihat apa?”

Seseorang mengetuk puncak kepalaku. Aku meringis sebal sambil bersiap menarik hisapan berikutnya.

“Apa sih yang kamu lihat dari sekumpulan buku berlabel sastra ini?”

Mataku memicing mencoba mencerna maksud perkataan Panji. Si pria berjanggut halus ini masih menatapku teduh, tidak selaras denganku yang terlihat seperti musuhnya.

Aku menggeleng.

“Engga ada. Namanya aja udah bikin bosen.”

Panji menarik sebatang rokok dari sakunya. Memantik api yang menyala setelah zippo dibuka lalu meresapi hisapan pertama. Aku mengalihkan diri dari matanya.

“Aku melihat kamu seperti sastra, Nagya. Enam tahun lalu, saat kita masih ingat cara bersenang-senang tanpa peduli setan. Kamu dua satu, aku dua lima,” aku menyimak tenang. Mencoba membiarkan dia kembali menceritakan awal kisah kami.

“Aku tidak mau disamakan seperti kertas-kertas itu. Kertas berisi fiksi maupun hipotesa yang bahasanya njelimet dan bikin mumet.”

Kami tidak sengaja menghembuskan asap bersamaan. Semilir angin dari pintu geser kaca yang terbuka lebar di samping kami masuk tanpa permisi lalu menerbangkan asap-asap membumbung pergi.

“Seperti itulah kamu. Tidak dulu, tidak sekarang. Mungkin bagimu, sastra membosankan, tidak mempesona, sebuah tradisi estafet dari masa ke masa yang membuat manusia fakir imajinasi bosan mem—“

“Tunggu!” Panji agak kaget.

“Kamu bilang aku fakir imajinasi?!”

Panji menghembuskan nafas gemas, “Nagya! Jangan baru baca prolog udah membuat konsklusi!” Panji kembali menjitak kepalaku. Aku tersenyum dalam hati.

“Tapi, sastra itu menggairahkan. Dia merangsang otakmu untuk berpikir. Nih, aku kasih contoh salah satu karya dari Haruki Murakami. Pernah kamu berpikir untuk hidup seperti lingkungan di Norwegian Wood? Menjadi sosok hilang arah, mati rasa, main-main sama birahi dan akhirnya kamu sadar kamu hilang kontrol?”

“Aku sudah pernah sih. Well, tapi ngga main sama banyak lelaki.”

“Aku ngasih contoh paling cetek dari Murakami dan deket sama kepribadianmu loh,” Panji tersenyum jahil.

Huh! Ingin aku sundut lengan pria ini.

“Judul Norwegian Wood juga tidak asing karena inspirasinya datang dari lagu The Beatles dengan judul yang sama toh. Pernah dengar, kan?” Aku mengangguk. Siapa yang tidak kenal band asal Liverpool itu coba.

“Sastra itu tidak hanya jutaan deret tulisan. Setiap muatannya mengandung beberapa faktor ekstrinsik maupun intrinsik yang membuat imajinasi kita bermain dengan representasi yang berbeda. Kebudayaan yang beda di tiap novel saja bisa membuat kita menerjemahkan cerita dengan berbeda-beda loh.”

Aku masih setia menunggu Panji melanjutkan.

“Enam tahun lalu, saat aku melihat kamu datang ke studio tato Arsyo, aku melihatmu seperti sastra. Mungkin orang-orang menerjemahkanmu sebagai perempuan nakal dan kurang terdidik sehingga membuat tato tapi tampangnya polos.”

“Apalagi saat itu aku dengan tololnya bertanya; “di tato sakit ngga sih?”

Panji tertawa, aku juga.

“Itulah, karena aku melihatmu sebagai sastra, aku menerjemahkan kepribadianmu sebagai sosok yang menarik. Kamu datang dari keluarga darah biru, budaya yang luhur dan tutur, tapi kelakuanmu ngelantur. Disitulah aku jatuh cinta kepadamu. Kamu berani mencari tahu apa yang kamu inginkan. Kamu membuatku ingin terus membalik setiap lembar harimu tanpa peduli kapan tulisan tamat terbentang. Aku ingin menjadi salah satu tokoh yang menghiasi stensilan hidupmu dari bab tengah hingga akhir kata.”

Aku terdiam mendengar kata-katanya.

“Coba bayangkan Nagya, seandainya sastra tidak ada. Tidak ada cerita tentang Romeo dan Juliet. Tidak ada pembahasan soal eksistensialisme. Tidak ada gagasan-gagasan politik kiri ala Karl Max. Peradaban ini, dibangun oleh setiap tinta mereka. Kita percaya mereka ada, dengan beredarnya karya mereka dimana-mana.”

Aku menanggapi metaforanya, “oh, jadi kamu mau bilang aku adalah sang sastra, yang ada karena hidupnya terukir dan menjukkan sebuah keeksisan.”

Got it.”

Panji merangkul bahuku dan menggesernya agar bersandar di dadanya yang bidang. Wangi parfum Hugo Boss menyeruak ke dalam indera penciumanku.

“Aku beruntung menikah dengan pria sepertimu.”

“Kenapa? Kau bilang pembaca sastra membosankan?”

“Setidaknya aku punya hari untuk berdebat secara cerdas dan sedikit intelek. Kamu juga mau meladeniku yang sok tahu.”

“Karena aku sudah bilang, aku ingin ikut berperan hingga bukumu tamat.”

“Meski kita tidak bisa mempunyai anak yang mampu mengikuti alur debatmu?”

Ja, natuurlijk!

Aku tersenyum, mematikan habis sumbu rokok yang masih menyala.


Lab sekolah,  laptop, dan secarik kertas
Jakarta, 2 Oktober 2014

Shinta Tidak Sempurna


Shinta mengerjapkan matanya. Debu-debu masih hinggap di dinding dan teralis besi yang memisahkan raga dari dunia luar. Dia menghela nafas pesimis sekaligus penuh kebencian selagi matanya melihat kosong ke ventilasi udara yang berada tiga meter di atasnya. Sinar matahari hanya mampu menyelinap dari celah sempit tersebut.

Kebebasan.

Sudah lama Shinta lupa rasanya berlari bebas diantara semak belukar dan rerumputan hijau. Sudah lama dia lupa sensasi dingin saat embun menyerap ke telapak kakinya. Semakin lupa pula ia dengan rasa meletup-letup yang muncul tatkala Rama diam-diam menerjang dari balik pohon dan menggelitiki pinggangnya lalu membiarkan dirinya terjatuh sambil memohon ampun yang dilanjutkan dengan ciuman lembut mereka sebagai penutup.

Shinta menyeka air mata yang menitik tanpa permisi. Suara derap langkah berat dan tergesa terdengar menggaung di kurungannya. Dia memasang ekspresi dingin saat grendel kunci diputar. Shinta bisa melihat seorang prajurit berbadan kekar melalui celah-celah rambutnya yang sudah berantakan sisa penyiksaan semalam.

“Bangun!”

Tubuh Shinta ditarik secara kasar. Dia melangkah pasrah mengikuti langkah prajurit tersebut. Shinta tahu kemana dia akan dibawa pagi ini.  Seperti hari-hari sebelumnya, Shinta memasuki ruangan yang besar nan terang. Permadani dengan bulu harimau terbentang di depan kasur berwarna putih bersih. Harum pekat melati memenuhi udara di ruangan tersebut. Sebenarnya, ruangan ini tidak tampak bagai ruang penyiksaan seperti fakta yang ada dibaliknya. Tapi, bagi Shinta, dimanapun tanpa Rama adalah tempat menyiksa. Terlebih ini adalah kamar Rahwana.

Si Tua Bangka itu sedang diboreh dengan minyak zaitun oleh pelayan-pelayannya sembari menyuap beberapa potong pisang. Perut buncitnya bergerak naik turun saat salah satu pelayan mengusap perutnya dengan minyak sehingga terlihat mengilap.

Saat melihat Shinta sudah berdiri terasing di ruangan tersebut, Rahwana bangkit dari duduknya. Shinta menatap dengan lirikan waspada pada setiap langkah Rahwana yang coba mendekatinya layaknya harimau melihat kancil lemah tak berdaya.

“Shinta.... Shinta.....,” Rahwana mengangkat dagu Shinta agar tatapannya yang nyalang murka terlihat lebih jelas.

“Sekusut ini saja masih tetap terlihat menggairahkan.”

Shinta mendesis jijik saat deru napas Rahwana menyentuh lehernya, menyapu setiap lekuk disana dengan lidahnya. Para pelayan berdiri terpaku seakan hal itu sudah menjadi beban pekerjaan mereka. Kelu lidah mereka menyaksikan pelecahan tersebut.

Tangan Rahwana mencengkram bahu Shinta hingga menyebabkan bekas kemerahan yang tercetak jelas di kulitnya yang putih. Kepala Rahwana mulai turun mendekati payudara Shinta yang ranum. Semakin memuncak kebencian Shinta hingga akhirnya dia melayangkan kepalan tinjunya ke kepala pemimpin Alengka tersebut. Sedikit terhuyung Rahwana dibuatnya. Saat Rahwana hendak berbalik, Shinta meludahinya.

Rahwana dengan bengis menarik rambut Shinta hingga pekikan kecil keluar dari bibirnya yang kering. Ditamparnya wajah mulus itu sekuat tenaga.

“Bajingan! Dasar perempuan jalang!”

Kepala Shinta terkulai diantara jeratan tangan Rahwana. Darah menetes di atas permadani bulu harimau sehingga meninggalkan jejak merah. Bibir Shinta sobek dan pipinya membiru. Diantara sisa-sisa kesadarannya, Shinta membalas makian Rahwana.

“Kau lah yang bajingan Rahwana! Kembalikan aku pada Rama!”

“Bermimpilah kamu sampai mampus! Ramamu tidak akan pernah datang!” Rahwana mencekik pipi Shinta.

“Rama akan datang dan memporak-porandakan istana hina ini,” Shinta tertawa nyinyir meski bibirnya terasa perih.

Mata Rahwana mendelik marah. Cahaya di bulatan hitam itu sudah redup tertutup kebencian dan nafsu duniawi. Dihantamnya kepala Shinta dengan guci berisi arak yang ada berada di nampan dekatnya. Shinta terjatuh dengan kepala yang bercucuran darah. Bau arak yang tajam bercampur amis darah mengalir di pangkal hidungnya. Kesadarannya lamat-lamat menurun dan meninggalkan bayangan kabur tentang ruangan penyiksaan tersebut.

Shinta masih bisa merasakan tubuhnya diangkat dan dibanting ke kapuk yang empuk. Suara murka dan tawa bengis Rahwana menggema bagai halusinasi diantara sadar dan tak sadar. Shinta merasakan kebaya sutra bermotif batik parang rusaknya disobek. Hatinya menjerit tetapi sekuat tenaga dia menahan isakan dan air matanya.

Tidak! Rahwana tidak boleh melihatnya menyerah.

Tangan Rahwana menjamah rakus paha, selangkangan, payudara, perut, dan vagina Shinta. Tubuh berlemak dan berkeringat itu menindihnya sambil mengarahkan kejantanananya yang kecil menuju liang kesurgaan Shinta. Shinta ingin menendang perutnya hingga isi dan kotorannya keluar, melumuri tubuh binal tersebut. Tapi terlambat, Shinta sudah tidak suci. Dia ternoda.

Jamahan itu semakin kasar dan menyebabkan lecet yang perih. Perih. Perih. Perih. Tapi bayangan Rama yang seakan datang dan menghajar Rahwana sampai tidak berbentuk menghangatkan hatinya. Dia kehilangan kesadaran.

Tanpa air mata, tanpa perlawanan.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------

note : Gue mencoba membuat cerita dari perspektif maha kuasa. Mencoba membedah kembali riwayat Ramayana dari penelisikan yang berbeda :) itung-itung latihan nulis lagi.