Aku menghisap rokok menthol di
selipan jariku sambil mengamati deretan rak buku berisi tetek bengek sastra dan
filsafat. Mataku menyipit mencoba mencerna nama pengarangnya satu persatu.
Nietzche, Sartre, Coelho, Murakami, Mishima, serta beberapa nama
Indonesia, Seno Gumira, Ayu Utami, Djaenar Maesa Ayu, Hamka, Amoedya Noer,
berderet rapi di sela-sela papan kayu mahoni yang dipelitur dan berbentuk
persegi panjang. Satu kotaknya mampu menampung hingga sepuluh buku yang
tebalnya dipercaya untuk menimpuk maling.
“Hey! Lihat apa?”
Seseorang mengetuk puncak
kepalaku. Aku meringis sebal sambil bersiap menarik hisapan berikutnya.
“Apa sih yang kamu lihat dari
sekumpulan buku berlabel sastra ini?”
Mataku memicing mencoba mencerna
maksud perkataan Panji. Si pria berjanggut halus ini masih menatapku teduh,
tidak selaras denganku yang terlihat seperti musuhnya.
Aku menggeleng.
“Engga ada. Namanya aja udah
bikin bosen.”
Panji menarik sebatang rokok dari
sakunya. Memantik api yang menyala setelah zippo
dibuka lalu meresapi hisapan pertama. Aku mengalihkan diri dari matanya.
“Aku melihat kamu seperti sastra,
Nagya. Enam tahun lalu, saat kita masih ingat cara bersenang-senang tanpa
peduli setan. Kamu dua satu, aku dua lima,” aku menyimak tenang. Mencoba
membiarkan dia kembali menceritakan awal kisah kami.
“Aku tidak mau disamakan seperti
kertas-kertas itu. Kertas berisi fiksi maupun hipotesa yang bahasanya njelimet dan bikin mumet.”
Kami tidak sengaja menghembuskan
asap bersamaan. Semilir angin dari pintu geser kaca yang terbuka lebar di
samping kami masuk tanpa permisi lalu menerbangkan asap-asap membumbung pergi.
“Seperti itulah kamu. Tidak dulu,
tidak sekarang. Mungkin bagimu, sastra membosankan, tidak mempesona, sebuah
tradisi estafet dari masa ke masa yang membuat manusia fakir imajinasi bosan
mem—“
“Tunggu!” Panji agak kaget.
“Kamu bilang aku fakir
imajinasi?!”
Panji menghembuskan nafas gemas,
“Nagya! Jangan baru baca prolog udah membuat konsklusi!” Panji kembali menjitak
kepalaku. Aku tersenyum dalam hati.
“Tapi, sastra itu menggairahkan.
Dia merangsang otakmu untuk berpikir. Nih, aku kasih contoh salah satu karya
dari Haruki Murakami. Pernah kamu berpikir untuk hidup seperti lingkungan di
Norwegian Wood? Menjadi sosok hilang arah, mati rasa, main-main sama birahi dan
akhirnya kamu sadar kamu hilang kontrol?”
“Aku sudah pernah sih. Well, tapi
ngga main sama banyak lelaki.”
“Aku ngasih contoh paling cetek
dari Murakami dan deket sama kepribadianmu loh,” Panji tersenyum jahil.
Huh! Ingin aku sundut lengan pria
ini.
“Judul Norwegian Wood juga tidak
asing karena inspirasinya datang dari lagu The Beatles dengan judul yang sama
toh. Pernah dengar, kan?” Aku mengangguk. Siapa yang tidak
kenal band asal Liverpool itu coba.
“Sastra itu tidak hanya jutaan
deret tulisan. Setiap muatannya mengandung beberapa faktor ekstrinsik maupun
intrinsik yang membuat imajinasi kita bermain dengan representasi yang berbeda.
Kebudayaan yang beda di tiap novel saja bisa membuat kita menerjemahkan cerita
dengan berbeda-beda loh.”
Aku masih setia menunggu Panji
melanjutkan.
“Enam tahun lalu, saat aku
melihat kamu datang ke studio tato Arsyo, aku melihatmu seperti sastra. Mungkin
orang-orang menerjemahkanmu sebagai perempuan nakal dan kurang terdidik
sehingga membuat tato tapi tampangnya polos.”
“Apalagi saat itu aku dengan
tololnya bertanya; “di tato sakit ngga
sih?””
Panji tertawa, aku juga.
“Itulah, karena aku melihatmu
sebagai sastra, aku menerjemahkan kepribadianmu sebagai sosok yang menarik.
Kamu datang dari keluarga darah biru, budaya yang luhur dan tutur, tapi
kelakuanmu ngelantur. Disitulah aku
jatuh cinta kepadamu. Kamu berani mencari tahu apa yang kamu inginkan. Kamu
membuatku ingin terus membalik setiap lembar harimu tanpa peduli kapan tulisan
tamat terbentang. Aku ingin menjadi salah satu tokoh yang menghiasi stensilan
hidupmu dari bab tengah hingga akhir kata.”
Aku terdiam mendengar
kata-katanya.
“Coba bayangkan Nagya, seandainya
sastra tidak ada. Tidak ada cerita tentang Romeo dan Juliet. Tidak ada
pembahasan soal eksistensialisme. Tidak ada gagasan-gagasan politik kiri ala
Karl Max. Peradaban ini, dibangun oleh setiap tinta mereka. Kita percaya mereka
ada, dengan beredarnya karya mereka dimana-mana.”
Aku menanggapi metaforanya, “oh,
jadi kamu mau bilang aku adalah sang sastra, yang ada karena hidupnya terukir
dan menjukkan sebuah keeksisan.”
“Got it.”
Panji merangkul bahuku dan
menggesernya agar bersandar di dadanya yang bidang. Wangi parfum Hugo Boss
menyeruak ke dalam indera penciumanku.
“Aku beruntung menikah dengan
pria sepertimu.”
“Kenapa? Kau bilang pembaca
sastra membosankan?”
“Setidaknya aku punya hari untuk
berdebat secara cerdas dan sedikit intelek. Kamu juga mau meladeniku yang sok
tahu.”
“Karena aku sudah bilang, aku
ingin ikut berperan hingga bukumu tamat.”
“Meski kita tidak bisa mempunyai
anak yang mampu mengikuti alur debatmu?”
“Ja, natuurlijk!”
Aku tersenyum, mematikan habis
sumbu rokok yang masih menyala.
Lab sekolah, laptop, dan secarik kertas
Jakarta, 2 Oktober 2014