Aku merasa keresahanku hilang.
Aku menyesap mocha hangat yang
terhidang di sisi kanan laptop. Uap hangat menguar dan menyisakan titik-titik
embun di pinggir cangkir. Pagi mulai bergerak pergi dan berganti terik. Layar laptop masih membentangkan layer kosong dengan pointer panda yang
terus berkedip, menunggu di otak-atik. Sesekali mataku menatap layar handphone,
menunggu satu pesan masuk namun bukan dari bos. Tidak kunjung datang. Aku
menghela nafas, meluapkan kedataran yang sedari tadi mengawang-awang.
Aku merasa keresahanku hilang.
Dulu, entah kapan dunia awang itu
nyata, aku terbiasa liar. Imajinasi dan emosiku berdebur bagai ombak di lautan
lepas menunggu pecah bersurai di pantai. Diriku yang dahulu dengan mudah
membangun awan-awan imajinasi yang tidak terbatas dan terombang-ambing
mengikuti arusnya. Itu dulu, sebelum terlalu jauh relaita dan tatanan hidup
serta moral tahik menyeretku terlalu dalam. Bara api di dadaku kini tinggal
menunggu menjadi abu dan meresap di tungku.
“Kamu kan bisa kerja kantoran aja, nak. Kerja asal ada ijazah.”
“Tapi aku mau jadi seniman matang. Lingkungan yang mendukung.”
Dua hari lalu.
“Kamu kalau besar mau jadi apa aja bisa. Dokter, astronot, ilmuwan.”
“Tapi aku nggak suka eksakta.”
“Tapi Hayomi bisa kaya dan punya banyak uang.”
Tujuh belas tahun lalu. Umur
tujuh.
Aku merasa keresahanku hilang.
Seniman tidak seharusnya terbawa
realita. Kita terbiasa terjaga di alam nirwana. Alam dimana suwung merajalela
dan membuat kita lupa. Hal yang tersulit terjadi sekarang adalah, terlalu
banyak karbitan. Terlalu banyak hasil “seni” omong kosong yang berasal dari
dunia nyata. Seni basi, seperti kata guruku.
Aku sendiri terlalu dini
mengklaim diri sebagai seniman sejati. Apalah aku. Aku hanya suka menggambar,
titik. Aku suka membuat apa yang tidak terucap tergores melalui pensil, cat,
tinta di atas kertas.
Hhhh....
Aku menghela nafas. Mencoba
menghimpun keresahan yang harus aku punya. Keresahan akan membawaku gila, lupa
dunia, lalu masuk alam maya. Keresahan akan membuat tanganku bergerak maju dan
menggores tanpa ampun, bagai seorang samurai yang sedang menghabisi lawannya.
Karena aku butuh keresahan itu.
Kekritisan akan hal-hal polos yang sesungguhnya menunggu dimaki, di
anjing-anjingkan, dipiaskan. Kekritisan yang aku metaforakan bagai melihat
perempuan telanjang tetapi menyimpan sejuta sifat jalang.
Karena sekarang, saat logika
menghempaskan dunia fana, sungguh aku merasa kesepian. Aku butuh keresahan itu
yang akan membuatku terlihat kesepian tapi teramat gaduh di dalam. Duniaku
terlalu ramai untuk kau sesaki dan mengerti.
Mampus kau! Dikoyak-koyak sepi
Sekolah, mocha hangat,
dan Chairil Anwar
Jakarta, 30 September
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar