Shinta mengerjapkan matanya.
Debu-debu masih hinggap di dinding dan teralis besi yang memisahkan raga dari
dunia luar. Dia menghela nafas pesimis sekaligus penuh kebencian selagi matanya
melihat kosong ke ventilasi udara yang berada tiga meter di atasnya. Sinar
matahari hanya mampu menyelinap dari celah sempit tersebut.
Kebebasan.
Sudah lama Shinta lupa rasanya
berlari bebas diantara semak belukar dan rerumputan hijau. Sudah lama dia lupa
sensasi dingin saat embun menyerap ke telapak kakinya. Semakin lupa pula ia
dengan rasa meletup-letup yang muncul tatkala Rama diam-diam menerjang dari
balik pohon dan menggelitiki pinggangnya lalu membiarkan dirinya terjatuh
sambil memohon ampun yang dilanjutkan dengan ciuman lembut mereka sebagai
penutup.
Shinta menyeka air mata yang menitik
tanpa permisi. Suara derap langkah berat dan tergesa terdengar menggaung di
kurungannya. Dia memasang ekspresi dingin saat grendel kunci diputar. Shinta
bisa melihat seorang prajurit berbadan kekar melalui celah-celah rambutnya yang
sudah berantakan sisa penyiksaan semalam.
“Bangun!”
Tubuh Shinta ditarik secara kasar. Dia
melangkah pasrah mengikuti langkah prajurit tersebut. Shinta tahu kemana dia
akan dibawa pagi ini. Seperti hari-hari
sebelumnya, Shinta memasuki ruangan yang besar nan terang. Permadani dengan
bulu harimau terbentang di depan kasur berwarna putih bersih. Harum pekat
melati memenuhi udara di ruangan tersebut. Sebenarnya, ruangan ini tidak tampak
bagai ruang penyiksaan seperti fakta yang ada dibaliknya. Tapi, bagi Shinta,
dimanapun tanpa Rama adalah tempat menyiksa. Terlebih ini adalah kamar Rahwana.
Si Tua Bangka itu sedang diboreh
dengan minyak zaitun oleh pelayan-pelayannya sembari menyuap beberapa potong
pisang. Perut buncitnya bergerak naik turun saat salah satu pelayan mengusap
perutnya dengan minyak sehingga terlihat mengilap.
Saat melihat Shinta sudah berdiri
terasing di ruangan tersebut, Rahwana bangkit dari duduknya. Shinta menatap
dengan lirikan waspada pada setiap langkah Rahwana yang coba mendekatinya
layaknya harimau melihat kancil lemah tak berdaya.
“Shinta.... Shinta.....,” Rahwana
mengangkat dagu Shinta agar tatapannya yang nyalang murka terlihat lebih jelas.
“Sekusut ini saja masih tetap
terlihat menggairahkan.”
Shinta mendesis jijik saat deru napas
Rahwana menyentuh lehernya, menyapu setiap lekuk disana dengan lidahnya. Para
pelayan berdiri terpaku seakan hal itu sudah menjadi beban pekerjaan mereka. Kelu
lidah mereka menyaksikan pelecahan tersebut.
Tangan Rahwana mencengkram bahu
Shinta hingga menyebabkan bekas kemerahan yang tercetak jelas di kulitnya yang
putih. Kepala Rahwana mulai turun mendekati payudara Shinta yang ranum. Semakin
memuncak kebencian Shinta hingga akhirnya dia melayangkan kepalan tinjunya ke
kepala pemimpin Alengka tersebut. Sedikit terhuyung Rahwana dibuatnya. Saat
Rahwana hendak berbalik, Shinta meludahinya.
Rahwana dengan bengis menarik rambut
Shinta hingga pekikan kecil keluar dari bibirnya yang kering. Ditamparnya wajah
mulus itu sekuat tenaga.
“Bajingan! Dasar perempuan jalang!”
Kepala Shinta terkulai diantara
jeratan tangan Rahwana. Darah menetes di atas permadani bulu harimau sehingga
meninggalkan jejak merah. Bibir Shinta sobek dan pipinya membiru. Diantara
sisa-sisa kesadarannya, Shinta membalas makian Rahwana.
“Kau lah yang bajingan Rahwana!
Kembalikan aku pada Rama!”
“Bermimpilah kamu sampai mampus!
Ramamu tidak akan pernah datang!” Rahwana mencekik pipi Shinta.
“Rama akan datang dan
memporak-porandakan istana hina ini,” Shinta tertawa nyinyir meski bibirnya
terasa perih.
Mata Rahwana mendelik marah. Cahaya
di bulatan hitam itu sudah redup tertutup kebencian dan nafsu duniawi.
Dihantamnya kepala Shinta dengan guci berisi arak yang ada berada di nampan
dekatnya. Shinta terjatuh dengan kepala yang bercucuran darah. Bau arak yang
tajam bercampur amis darah mengalir di pangkal hidungnya. Kesadarannya
lamat-lamat menurun dan meninggalkan bayangan kabur tentang ruangan penyiksaan
tersebut.
Shinta masih bisa merasakan tubuhnya
diangkat dan dibanting ke kapuk yang empuk. Suara murka dan tawa bengis Rahwana
menggema bagai halusinasi diantara sadar dan tak sadar. Shinta merasakan kebaya
sutra bermotif batik parang rusaknya disobek. Hatinya menjerit tetapi sekuat
tenaga dia menahan isakan dan air matanya.
Tidak! Rahwana tidak boleh melihatnya
menyerah.
Tangan Rahwana menjamah rakus paha,
selangkangan, payudara, perut, dan vagina Shinta. Tubuh berlemak dan
berkeringat itu menindihnya sambil mengarahkan kejantanananya yang kecil menuju
liang kesurgaan Shinta. Shinta ingin menendang perutnya hingga isi dan
kotorannya keluar, melumuri tubuh binal tersebut. Tapi terlambat, Shinta sudah
tidak suci. Dia ternoda.
Jamahan itu semakin kasar dan menyebabkan
lecet yang perih. Perih. Perih. Perih. Tapi bayangan Rama yang seakan datang
dan menghajar Rahwana sampai tidak berbentuk menghangatkan hatinya. Dia
kehilangan kesadaran.
Tanpa air mata, tanpa perlawanan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
note : Gue mencoba membuat cerita dari perspektif maha kuasa. Mencoba membedah kembali riwayat Ramayana dari penelisikan yang berbeda :) itung-itung latihan nulis lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar