Pengen bilang apa ya?
Oh iya, gue lagi kepincut banget sama lagu-lagu Float.
Dulu, sebenernya gue udah tau band Float tapi belom seasik sekarang di kuping gue. Mungkin efek umur kali ya. Semakin dewasa, kuping gue adaptasi dan makin nyaman sama beberapa genre tertentu aja. Dulu gue tahu Float dari film 3 Hari untuk Selamanya.
Sekarang, isi playlist lagi kegandrung sama band yang kemaren baru aja bikin Float2Nature sebagai perayaan annivesary mereka di Lampung.
Kedua, akhir-akhir ini gue selalu nemu buku bagus hasil ngoprek di Gramedia. Salah satunya, kumcer karya Djenar Maesa Ayu. Penulis yang sukses lewat Mereka Bilang Saya Monyet! ini berhasil menarik mata gue untuk membalik lembar demi lembarnya. Which ternyata, Djenar ini Floaters juga! hahaha..
Banyak yang bilang karya Djenar itu dangkal (as what I read on goodreads review), tapi menurut gue, cara bertuturnya yang blak-blakan, verbally dan mengangkat konsep tentang Perempuan, Seks, Human Trafficking, lumayan bikin gue betah bacanya. Atau ini cuma masalah selera baca? Hahah. Tapi sayang, plot cerita Djenar cukup mudah ditebak. Seperti kita udah dikasi panduan dalam game buat setiap quest nya. But I salute her witty style and simple-attractive words even in monoton plot.
Well, selamat malam dan jangan lupa sikat gigi,
Nyoron
Jumat, 10 Oktober 2014
Hujan Bulan Desember
Gue engga tau udah berapa kali di blog ini bilang bahwa;
"Hey! It just two months left before year end"
Waktu tuh bener-bener misterius dan interkonsepsi.
Gue masih terkaget-kaget kalau sekarang udah bulan ke sepuluh dari duabelas bulan yang harus ditempuh dalam setahun. Perasaan, baru aja kemaren gue nulis hal yang sama dalam kondisi hati galau menye-menye terus ngga lama ngepost soal tahun baruan di rumah Ami dilanjut dengan bakar-bakar ayam sambil nunggu kembang api.
Resolusi tahun ini, unexpected! Ngga nyangka aja 70% yang penting udah terpenuhi semua. Alhamdulillah. Ternyata memang cara terbaik untuk bikin resolusi itu niat -> ditulis -> ditanamkan ke diri sendiri setiap hari.
I think, what I learn from this year is; It's no matter how long you lives, It's no matter how many times you've been here and there, but about how much we mean to live fully.
And, (cepat) selamat datang bulan desember. Bulan favorit gue. Musim hujan favorit gue. Bau tanah basah habis hujan, jalan becek, air netes dari pohon!
Good night,
Nyoron
"Hey! It just two months left before year end"
Waktu tuh bener-bener misterius dan interkonsepsi.
Gue masih terkaget-kaget kalau sekarang udah bulan ke sepuluh dari duabelas bulan yang harus ditempuh dalam setahun. Perasaan, baru aja kemaren gue nulis hal yang sama dalam kondisi hati galau menye-menye terus ngga lama ngepost soal tahun baruan di rumah Ami dilanjut dengan bakar-bakar ayam sambil nunggu kembang api.
Resolusi tahun ini, unexpected! Ngga nyangka aja 70% yang penting udah terpenuhi semua. Alhamdulillah. Ternyata memang cara terbaik untuk bikin resolusi itu niat -> ditulis -> ditanamkan ke diri sendiri setiap hari.
I think, what I learn from this year is; It's no matter how long you lives, It's no matter how many times you've been here and there, but about how much we mean to live fully.
And, (cepat) selamat datang bulan desember. Bulan favorit gue. Musim hujan favorit gue. Bau tanah basah habis hujan, jalan becek, air netes dari pohon!
Good night,
Pulang
Aku rindu rumah
Perasaan yang menggangu setiap saat ku tatap jalanan di Harleemstraat yang ramai.
Perasaan yang menggeltik kala aku menyusuri Kernstraat 17a, Leiden.
Sesak yang menghimpit bila berpapasan dengan kakek-nenek seusia kalian di sekitar Universiteeit Bibliotheek.
Sejauh apapun, hangatnya bumi akan selalu berbeda.
Pabila, kita berbeda benua,
Tak satu tabula rasa.
Kelingking telah dilingkarkan sebelum kaki menjejak bandar udara.
Bahwa tahun esok kita kembali tatap muka.
Lalu tidak akan saling berkata,
"Sampai jumpa!"
Perasaan yang menggangu setiap saat ku tatap jalanan di Harleemstraat yang ramai.
Perasaan yang menggeltik kala aku menyusuri Kernstraat 17a, Leiden.
Sesak yang menghimpit bila berpapasan dengan kakek-nenek seusia kalian di sekitar Universiteeit Bibliotheek.
Sejauh apapun, hangatnya bumi akan selalu berbeda.
Pabila, kita berbeda benua,
Tak satu tabula rasa.
Kelingking telah dilingkarkan sebelum kaki menjejak bandar udara.
Bahwa tahun esok kita kembali tatap muka.
Lalu tidak akan saling berkata,
"Sampai jumpa!"
Float - Pulang dan secangkir teh manis
Jakarta, 10 Oktober 2014
Kamis, 02 Oktober 2014
Resah
Aku merasa keresahanku hilang.
Aku menyesap mocha hangat yang
terhidang di sisi kanan laptop. Uap hangat menguar dan menyisakan titik-titik
embun di pinggir cangkir. Pagi mulai bergerak pergi dan berganti terik. Layar laptop masih membentangkan layer kosong dengan pointer panda yang
terus berkedip, menunggu di otak-atik. Sesekali mataku menatap layar handphone,
menunggu satu pesan masuk namun bukan dari bos. Tidak kunjung datang. Aku
menghela nafas, meluapkan kedataran yang sedari tadi mengawang-awang.
Aku merasa keresahanku hilang.
Dulu, entah kapan dunia awang itu
nyata, aku terbiasa liar. Imajinasi dan emosiku berdebur bagai ombak di lautan
lepas menunggu pecah bersurai di pantai. Diriku yang dahulu dengan mudah
membangun awan-awan imajinasi yang tidak terbatas dan terombang-ambing
mengikuti arusnya. Itu dulu, sebelum terlalu jauh relaita dan tatanan hidup
serta moral tahik menyeretku terlalu dalam. Bara api di dadaku kini tinggal
menunggu menjadi abu dan meresap di tungku.
“Kamu kan bisa kerja kantoran aja, nak. Kerja asal ada ijazah.”
“Tapi aku mau jadi seniman matang. Lingkungan yang mendukung.”
Dua hari lalu.
“Kamu kalau besar mau jadi apa aja bisa. Dokter, astronot, ilmuwan.”
“Tapi aku nggak suka eksakta.”
“Tapi Hayomi bisa kaya dan punya banyak uang.”
Tujuh belas tahun lalu. Umur
tujuh.
Aku merasa keresahanku hilang.
Seniman tidak seharusnya terbawa
realita. Kita terbiasa terjaga di alam nirwana. Alam dimana suwung merajalela
dan membuat kita lupa. Hal yang tersulit terjadi sekarang adalah, terlalu
banyak karbitan. Terlalu banyak hasil “seni” omong kosong yang berasal dari
dunia nyata. Seni basi, seperti kata guruku.
Aku sendiri terlalu dini
mengklaim diri sebagai seniman sejati. Apalah aku. Aku hanya suka menggambar,
titik. Aku suka membuat apa yang tidak terucap tergores melalui pensil, cat,
tinta di atas kertas.
Hhhh....
Aku menghela nafas. Mencoba
menghimpun keresahan yang harus aku punya. Keresahan akan membawaku gila, lupa
dunia, lalu masuk alam maya. Keresahan akan membuat tanganku bergerak maju dan
menggores tanpa ampun, bagai seorang samurai yang sedang menghabisi lawannya.
Karena aku butuh keresahan itu.
Kekritisan akan hal-hal polos yang sesungguhnya menunggu dimaki, di
anjing-anjingkan, dipiaskan. Kekritisan yang aku metaforakan bagai melihat
perempuan telanjang tetapi menyimpan sejuta sifat jalang.
Karena sekarang, saat logika
menghempaskan dunia fana, sungguh aku merasa kesepian. Aku butuh keresahan itu
yang akan membuatku terlihat kesepian tapi teramat gaduh di dalam. Duniaku
terlalu ramai untuk kau sesaki dan mengerti.
Mampus kau! Dikoyak-koyak sepi
Sekolah, mocha hangat,
dan Chairil Anwar
Jakarta, 30 September
2014
Nagya dan Panji
Aku menghisap rokok menthol di
selipan jariku sambil mengamati deretan rak buku berisi tetek bengek sastra dan
filsafat. Mataku menyipit mencoba mencerna nama pengarangnya satu persatu.
Nietzche, Sartre, Coelho, Murakami, Mishima, serta beberapa nama
Indonesia, Seno Gumira, Ayu Utami, Djaenar Maesa Ayu, Hamka, Amoedya Noer,
berderet rapi di sela-sela papan kayu mahoni yang dipelitur dan berbentuk
persegi panjang. Satu kotaknya mampu menampung hingga sepuluh buku yang
tebalnya dipercaya untuk menimpuk maling.
“Hey! Lihat apa?”
Seseorang mengetuk puncak
kepalaku. Aku meringis sebal sambil bersiap menarik hisapan berikutnya.
“Apa sih yang kamu lihat dari
sekumpulan buku berlabel sastra ini?”
Mataku memicing mencoba mencerna
maksud perkataan Panji. Si pria berjanggut halus ini masih menatapku teduh,
tidak selaras denganku yang terlihat seperti musuhnya.
Aku menggeleng.
“Engga ada. Namanya aja udah
bikin bosen.”
Panji menarik sebatang rokok dari
sakunya. Memantik api yang menyala setelah zippo
dibuka lalu meresapi hisapan pertama. Aku mengalihkan diri dari matanya.
“Aku melihat kamu seperti sastra,
Nagya. Enam tahun lalu, saat kita masih ingat cara bersenang-senang tanpa
peduli setan. Kamu dua satu, aku dua lima,” aku menyimak tenang. Mencoba
membiarkan dia kembali menceritakan awal kisah kami.
“Aku tidak mau disamakan seperti
kertas-kertas itu. Kertas berisi fiksi maupun hipotesa yang bahasanya njelimet dan bikin mumet.”
Kami tidak sengaja menghembuskan
asap bersamaan. Semilir angin dari pintu geser kaca yang terbuka lebar di
samping kami masuk tanpa permisi lalu menerbangkan asap-asap membumbung pergi.
“Seperti itulah kamu. Tidak dulu,
tidak sekarang. Mungkin bagimu, sastra membosankan, tidak mempesona, sebuah
tradisi estafet dari masa ke masa yang membuat manusia fakir imajinasi bosan
mem—“
“Tunggu!” Panji agak kaget.
“Kamu bilang aku fakir
imajinasi?!”
Panji menghembuskan nafas gemas,
“Nagya! Jangan baru baca prolog udah membuat konsklusi!” Panji kembali menjitak
kepalaku. Aku tersenyum dalam hati.
“Tapi, sastra itu menggairahkan.
Dia merangsang otakmu untuk berpikir. Nih, aku kasih contoh salah satu karya
dari Haruki Murakami. Pernah kamu berpikir untuk hidup seperti lingkungan di
Norwegian Wood? Menjadi sosok hilang arah, mati rasa, main-main sama birahi dan
akhirnya kamu sadar kamu hilang kontrol?”
“Aku sudah pernah sih. Well, tapi
ngga main sama banyak lelaki.”
“Aku ngasih contoh paling cetek
dari Murakami dan deket sama kepribadianmu loh,” Panji tersenyum jahil.
Huh! Ingin aku sundut lengan pria
ini.
“Judul Norwegian Wood juga tidak
asing karena inspirasinya datang dari lagu The Beatles dengan judul yang sama
toh. Pernah dengar, kan?” Aku mengangguk. Siapa yang tidak
kenal band asal Liverpool itu coba.
“Sastra itu tidak hanya jutaan
deret tulisan. Setiap muatannya mengandung beberapa faktor ekstrinsik maupun
intrinsik yang membuat imajinasi kita bermain dengan representasi yang berbeda.
Kebudayaan yang beda di tiap novel saja bisa membuat kita menerjemahkan cerita
dengan berbeda-beda loh.”
Aku masih setia menunggu Panji
melanjutkan.
“Enam tahun lalu, saat aku
melihat kamu datang ke studio tato Arsyo, aku melihatmu seperti sastra. Mungkin
orang-orang menerjemahkanmu sebagai perempuan nakal dan kurang terdidik
sehingga membuat tato tapi tampangnya polos.”
“Apalagi saat itu aku dengan
tololnya bertanya; “di tato sakit ngga
sih?””
Panji tertawa, aku juga.
“Itulah, karena aku melihatmu
sebagai sastra, aku menerjemahkan kepribadianmu sebagai sosok yang menarik.
Kamu datang dari keluarga darah biru, budaya yang luhur dan tutur, tapi
kelakuanmu ngelantur. Disitulah aku
jatuh cinta kepadamu. Kamu berani mencari tahu apa yang kamu inginkan. Kamu
membuatku ingin terus membalik setiap lembar harimu tanpa peduli kapan tulisan
tamat terbentang. Aku ingin menjadi salah satu tokoh yang menghiasi stensilan
hidupmu dari bab tengah hingga akhir kata.”
Aku terdiam mendengar
kata-katanya.
“Coba bayangkan Nagya, seandainya
sastra tidak ada. Tidak ada cerita tentang Romeo dan Juliet. Tidak ada
pembahasan soal eksistensialisme. Tidak ada gagasan-gagasan politik kiri ala
Karl Max. Peradaban ini, dibangun oleh setiap tinta mereka. Kita percaya mereka
ada, dengan beredarnya karya mereka dimana-mana.”
Aku menanggapi metaforanya, “oh,
jadi kamu mau bilang aku adalah sang sastra, yang ada karena hidupnya terukir
dan menjukkan sebuah keeksisan.”
“Got it.”
Panji merangkul bahuku dan
menggesernya agar bersandar di dadanya yang bidang. Wangi parfum Hugo Boss
menyeruak ke dalam indera penciumanku.
“Aku beruntung menikah dengan
pria sepertimu.”
“Kenapa? Kau bilang pembaca
sastra membosankan?”
“Setidaknya aku punya hari untuk
berdebat secara cerdas dan sedikit intelek. Kamu juga mau meladeniku yang sok
tahu.”
“Karena aku sudah bilang, aku
ingin ikut berperan hingga bukumu tamat.”
“Meski kita tidak bisa mempunyai
anak yang mampu mengikuti alur debatmu?”
“Ja, natuurlijk!”
Aku tersenyum, mematikan habis
sumbu rokok yang masih menyala.
Lab sekolah, laptop, dan secarik kertas
Jakarta, 2 Oktober 2014
Shinta Tidak Sempurna
Shinta mengerjapkan matanya.
Debu-debu masih hinggap di dinding dan teralis besi yang memisahkan raga dari
dunia luar. Dia menghela nafas pesimis sekaligus penuh kebencian selagi matanya
melihat kosong ke ventilasi udara yang berada tiga meter di atasnya. Sinar
matahari hanya mampu menyelinap dari celah sempit tersebut.
Kebebasan.
Sudah lama Shinta lupa rasanya
berlari bebas diantara semak belukar dan rerumputan hijau. Sudah lama dia lupa
sensasi dingin saat embun menyerap ke telapak kakinya. Semakin lupa pula ia
dengan rasa meletup-letup yang muncul tatkala Rama diam-diam menerjang dari
balik pohon dan menggelitiki pinggangnya lalu membiarkan dirinya terjatuh
sambil memohon ampun yang dilanjutkan dengan ciuman lembut mereka sebagai
penutup.
Shinta menyeka air mata yang menitik
tanpa permisi. Suara derap langkah berat dan tergesa terdengar menggaung di
kurungannya. Dia memasang ekspresi dingin saat grendel kunci diputar. Shinta
bisa melihat seorang prajurit berbadan kekar melalui celah-celah rambutnya yang
sudah berantakan sisa penyiksaan semalam.
“Bangun!”
Tubuh Shinta ditarik secara kasar. Dia
melangkah pasrah mengikuti langkah prajurit tersebut. Shinta tahu kemana dia
akan dibawa pagi ini. Seperti hari-hari
sebelumnya, Shinta memasuki ruangan yang besar nan terang. Permadani dengan
bulu harimau terbentang di depan kasur berwarna putih bersih. Harum pekat
melati memenuhi udara di ruangan tersebut. Sebenarnya, ruangan ini tidak tampak
bagai ruang penyiksaan seperti fakta yang ada dibaliknya. Tapi, bagi Shinta,
dimanapun tanpa Rama adalah tempat menyiksa. Terlebih ini adalah kamar Rahwana.
Si Tua Bangka itu sedang diboreh
dengan minyak zaitun oleh pelayan-pelayannya sembari menyuap beberapa potong
pisang. Perut buncitnya bergerak naik turun saat salah satu pelayan mengusap
perutnya dengan minyak sehingga terlihat mengilap.
Saat melihat Shinta sudah berdiri
terasing di ruangan tersebut, Rahwana bangkit dari duduknya. Shinta menatap
dengan lirikan waspada pada setiap langkah Rahwana yang coba mendekatinya
layaknya harimau melihat kancil lemah tak berdaya.
“Shinta.... Shinta.....,” Rahwana
mengangkat dagu Shinta agar tatapannya yang nyalang murka terlihat lebih jelas.
“Sekusut ini saja masih tetap
terlihat menggairahkan.”
Shinta mendesis jijik saat deru napas
Rahwana menyentuh lehernya, menyapu setiap lekuk disana dengan lidahnya. Para
pelayan berdiri terpaku seakan hal itu sudah menjadi beban pekerjaan mereka. Kelu
lidah mereka menyaksikan pelecahan tersebut.
Tangan Rahwana mencengkram bahu
Shinta hingga menyebabkan bekas kemerahan yang tercetak jelas di kulitnya yang
putih. Kepala Rahwana mulai turun mendekati payudara Shinta yang ranum. Semakin
memuncak kebencian Shinta hingga akhirnya dia melayangkan kepalan tinjunya ke
kepala pemimpin Alengka tersebut. Sedikit terhuyung Rahwana dibuatnya. Saat
Rahwana hendak berbalik, Shinta meludahinya.
Rahwana dengan bengis menarik rambut
Shinta hingga pekikan kecil keluar dari bibirnya yang kering. Ditamparnya wajah
mulus itu sekuat tenaga.
“Bajingan! Dasar perempuan jalang!”
Kepala Shinta terkulai diantara
jeratan tangan Rahwana. Darah menetes di atas permadani bulu harimau sehingga
meninggalkan jejak merah. Bibir Shinta sobek dan pipinya membiru. Diantara
sisa-sisa kesadarannya, Shinta membalas makian Rahwana.
“Kau lah yang bajingan Rahwana!
Kembalikan aku pada Rama!”
“Bermimpilah kamu sampai mampus!
Ramamu tidak akan pernah datang!” Rahwana mencekik pipi Shinta.
“Rama akan datang dan
memporak-porandakan istana hina ini,” Shinta tertawa nyinyir meski bibirnya
terasa perih.
Mata Rahwana mendelik marah. Cahaya
di bulatan hitam itu sudah redup tertutup kebencian dan nafsu duniawi.
Dihantamnya kepala Shinta dengan guci berisi arak yang ada berada di nampan
dekatnya. Shinta terjatuh dengan kepala yang bercucuran darah. Bau arak yang
tajam bercampur amis darah mengalir di pangkal hidungnya. Kesadarannya
lamat-lamat menurun dan meninggalkan bayangan kabur tentang ruangan penyiksaan
tersebut.
Shinta masih bisa merasakan tubuhnya
diangkat dan dibanting ke kapuk yang empuk. Suara murka dan tawa bengis Rahwana
menggema bagai halusinasi diantara sadar dan tak sadar. Shinta merasakan kebaya
sutra bermotif batik parang rusaknya disobek. Hatinya menjerit tetapi sekuat
tenaga dia menahan isakan dan air matanya.
Tidak! Rahwana tidak boleh melihatnya
menyerah.
Tangan Rahwana menjamah rakus paha,
selangkangan, payudara, perut, dan vagina Shinta. Tubuh berlemak dan
berkeringat itu menindihnya sambil mengarahkan kejantanananya yang kecil menuju
liang kesurgaan Shinta. Shinta ingin menendang perutnya hingga isi dan
kotorannya keluar, melumuri tubuh binal tersebut. Tapi terlambat, Shinta sudah
tidak suci. Dia ternoda.
Jamahan itu semakin kasar dan menyebabkan
lecet yang perih. Perih. Perih. Perih. Tapi bayangan Rama yang seakan datang
dan menghajar Rahwana sampai tidak berbentuk menghangatkan hatinya. Dia
kehilangan kesadaran.
Tanpa air mata, tanpa perlawanan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
note : Gue mencoba membuat cerita dari perspektif maha kuasa. Mencoba membedah kembali riwayat Ramayana dari penelisikan yang berbeda :) itung-itung latihan nulis lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)