Cerita ini didedikasikan untuk Pidi Baiq, terimakasih untuk membangun semangat saya menulis lagi
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1
Ketika aku nulis ini, baru aja selesai mandi. Sebenarnya
udah ngantuk, tapi berhubung abis nyeduh kopi, mau gimana lagi? Jadilah tulisan
ngawur dini hari. Omong-omong, Aku lagi nunggu seseorang mengirim pesannya.
Biar kenapa? Ya, biar ada pesan masuk ke inbox, atuh. Orang yang aku tunggu
sekarang pasti sedang bernafas dan bergerak. Ya! Dia manusia, dan sedang berada
di Istora. Itu loh, gedung yang ada di kompleks GBK. Gedung yang ada jendela
dan penjaja makanan serta calo tiket.
Seharian ini aku habis bersenang-senang dan kalau lagi
senang aku tidak merasa sedih. Untung sedih dan senang tidak dalam satu paket
hemat, bisa repot!
Aku mengikuti lomba membuat poster bersama Indah. Indah
mempunyai hidung beserta bulunya, mata dan kelopak mata juga rambutnya yang
liar. Bingung kan? Indah ini sebenarnya saudari kembarku, ketika jadi janin
kami membelah diri seperti amoeba lalu dia migrasi ke Rahim ibu nya sekarang.
Kalau gak percaya datang aja ke dokter dan tanya kenapa tetanus itu berbahaya,
pasti dijawab. Kita satu tim dan berangkat bersama dari sekolah setelah aku
ngaret.
Di jalan, presisi gigi motor gak pernah kurang dari empat.
Sampai di Museum Joang 45, kita gak bisa parkir. Satpam bilang, daftar ulang di
Museum M.H. Thamrin. Jadi, berangkatlah kita melanglang buana. Singkat cerita,
kita bertukar posisi penumpang-pengemudi dan tersasar kesana-kemari mencari Jl.
Kenari II dimana museum berlokasi. Setelah nyasar dari Raden Saleh sampai Senen
dan Salemba, sampailah kami. Eh, ternyata daftar ulangnya di Museum Joang 45
nya. Capcay deh....
2
Selesai lomba, kita beringsut ke Taman Ismail Marzuki buat
nonton di Planetarium. Yah, gak jadi nonton karena kita bukan anak SD dan gak
ada rombongan. Eh, bentar aku mau ganti lagu. Nah, sudah.
Trus
si Indah nanya, “kemana nih?”
“Ke
gramed aja yuk,” aku melajukan motor dengan kecepatan sedang mengarah Salemba
lalu berputar balik di Slamet Riyadi.
Di Gramed, kami baca buku gratis. Iya, kurang modal nih.
Aku baca buku Phantom of Opera, Drunken Monster, dan kajian tentang nikah muda.
Selesai baca buku, kami beranjak ke lantai bawah untuk liat-liat tas, peralatan
hiking, sepatu dan alat musik. Aku tertarik buat beli sepatu lari itu. Mungkin
bulan depan.
Pulang dari Gramed, gantian Indah yang nyetir. Patungan
dulu bayar parkir di ticket box, kalau gak bayar gak bisa lewat. Awas palang
galak, gitu tulisannya.
“Berapa,
Mbak?” Aku mengeluarkan tiket dan selembar lima ribuan.
“Empat
ribu,” balas Mbak nya sambil menekan tombol pembuka portal.
Aku
menyodorkan duit lalu berteriak, “EH JANGAN!”
Indah
kaget dan ngerem mendadak. Dia bertanya kenapa.
“Duitku
kembali seribu!”
Terus
kami tertawa bersama. Silit memang.
3
Perjalanan kami teruskan. Kami melintasi Bimasakti, melawan
Mayasari Bakti, menapaki Venus lalu berjalan jalan di Pluto, oya gak lupa
transit dulu di Kampung Sumur.
“Mau
kemana?” tanya Indah.
“Ke
Mars!”
“Ngapain?”
rambutnya berkibar ditiup angina, tidak! jangan bayangkan yang dramatis dulu.
“Ngebuktiin
kalo orang Indonesia itu gak butuh oksigen, khususnya di Jakarta,” aku berujar
sambil menahan niatan untuk ambil gunting di tas dan ngebabat rambut Indah yang
dari tadi menampar nampar muka ku.
“Maksudnya?”
Indah menekan tuas rem agak kencang sehingga kami terperosot ke depan, jok
sial!.
“Kita
kan tiap hari ngehirup gas non oksidasi. Asap rokok dan, mayasari bakti, dan
metromini. Kita itu kuat kok di luar angkasa,” aku membetulkan posisi duduk.
Gigi
mundur ke posisi 2 dan mulai melaju kembali.
“Oke,
kita ke Mars!”
Motor
berpacu ke arah Klender. Klender itu pangkalan udara untuk naik Apollo 11 ke
bulan.
Dalam
perjalanan ke Mars, mama Indah telepon. Aku disuruh jawab. Indah masih nyetir.
“Halo
Indah, Indah dimana sekarang?”
“Kita
baru take off, Tante” jawabku kalem.
“Kemana?”
Aku
membungkuk dan bertanya, “tadi kita mau kemana?”
“Ke
Mars”.
“Ke
Mars, Tante. Sekarang udah lepas landas, uda sampai di tugalan (SMP 139)”.
Di
seberang sana terdengar mama Indah sedang melapor pada papa Indah dan tertawa.
“Oh
yaudah”.
“Emang
Tante lagi dimana?”
“Lagi
di jalan pulang abis dari rumah Om Indah”
“Yah,
kirain di rumah”
“Kenapa?
Pasti mau minta traktir Mie Bangka depan Nuris ya?” Mama Indah tertawa. Jleb!
“Hehehe
bisa aja. Lapor, tante. Barusan kita abis transit di Andromeda cepe tiga.
Sekarang udah sampai Mars dengan selamat, eh mau makan dulu di Neptunuris,”
mengalihkan perhatian itu penting.
“Yaudah,
udah dulu ya!”
KLIK.
Telpon di tutup.
“Semoga
emak gue ngira gue masi waras,” Indah mencibir.
4
Sampai
di Nuris, kami makan Mie Bangka pangsit dan es the manis. Sedap! Lanjut ngobrol
panjang lebar bervolume soal film dan sekolah. Setelah bayar dan parkir, kami
pulang ke Mars.
Di Mars, aku masuk ke kamar Indah. Kamarnya masih sama sejak setahun lalu pertama
kali aku kesini. Seperti habis perang bintang. Ranjang atas bertebaran buku,
losion anti nyamuk, chargeran, jangka, boneka hasil prakarya dan lain
sebagainya. Ranjang bawah berisi selimut, sayap kecoa, bantal, buku matematika
dan buku gambar. Aku
melihat rak diatas tivi dan langsung naik ke ranjang.
“Mau
ngapain?” tanya Indah.
“Bikin
prakarya,” aku menjawab sambil melongsorkan semua buku ke lantai.
BRUK
BRUK BRUK.
“EEEEEH
MAU NGAPAIN?!”
“Beresin
kamar lo,” Aku menatap Indah kalem sambil melihat-lihat koleksi buku nya, Pelecehan Seksual dan Kekerasan di Zaman
Kolonial. Boleh juga seleranya.
“Oh,
yaudah sekalian aja cari HP gue”.
“Bisa
diatur”.
Selama
setengah jam aku dan Indah menyortir buku-buku, kertas, kaleng, dan segala
macam saksi bisu perang bintang di kamar ini.
“Eh,
ada duit ceban,” ujarku saat membereskan rak.
“Simpen
aja, buat ongkos besok nonton Catching Fire,” Indah meraih celengannya yang
bukan celengan. Celengan itu adalah kaleng tango yang beralih fungsi.
Selesai
dengan sortir menyortir buku.
Bersambung.....
Aku lagi nunggu sambungan ceritanya. Biar apa? Ya, biar aku bisa baca lanjutan ceritanya atuh.
BalasHapusmakasi ya! mau ngopi dlu baru lanjut lagi.
Hapussiaap grak!
Hapus